Fenomena Dinasti Rente dalam Praktik: Dari Pilkada ke Istana
Tak perlu mencari contoh yang terlalu jauh. Dalam banyak kontestasi politik di Indonesia, terutama pilkada, kita mendapati pola kandidat yang berasal dari keluarga petahana: anak, istri, adik, bahkan menantu kepala daerah. Fenomena ini diperparah oleh lemahnya regulasi yang membatasi praktik semacam ini.
Mahkamah Konstitusi pernah menyatakan bahwa larangan terhadap dinasti politik bertentangan dengan konstitusi karena dianggap menghambat hak politik warga negara. Padahal, dalam kenyataannya, warga negara yang berasal dari keluarga elite justru memiliki akses yang jauh lebih besar terhadap sumber daya politik.
Belakangan, praktik ini merambah ke level tertinggi kekuasaan. Kontroversi mengenai posisi politik anak presiden, dari kursi Walikota hingga Wakil Presiden, memicu perdebatan luas tentang apakah bangsa ini sedang terseret kembali ke era feodalisme politik yang dibungkus demokrasi prosedural. Ketika lembaga peradilan seperti Mahkamah Konstitusi dianggap ikut bermain dalam melicinkan jalan bagi pewarisan kekuasaan, yang terjadi bukan sekadar kemunduran, melainkan pembusukan demokrasi dari dalam.
Demokrasi yang Terkurung dalam Jebakan Rente
Demokrasi seharusnya menjadi sistem di mana kekuasaan didistribusikan secara adil melalui mekanisme pemilihan yang bebas dan kompetitif. Namun, ketika kandidat yang muncul berasal dari lingkaran kekuasaan yang sama, dan memiliki akses pada sumber daya negara, maka demokrasi berubah menjadi sirkus legitimasi kekuasaan.
Dalam studi ilmiah, fenomena ini disebut sebagai competitive authoritarianism atau otoritarianisme kompetitif, di mana sistem politik tampak demokratis secara prosedural, tetapi dalam praktiknya dikendalikan oleh elite melalui instrumen kekuasaan formal dan informal. Dinasti rente berperan besar dalam menjadikan sistem ini langgeng, karena ia menciptakan barrier to entry bagi calon pemimpin yang tidak memiliki privilese politik atau modal besar.
Konsekuensinya, ruang partisipasi publik menyempit. Rakyat kehilangan pilihan yang beragam karena calon-calon alternatif tidak mampu bersaing. Demokrasi hanya menjadi ritual lima tahunan, sementara kebijakan publik ditentukan oleh segelintir keluarga dan kroni yang duduk di puncak piramida kekuasaan.