Menyematkan Gelar Haji: Dari Perjalanan Penuh Ujian Hingga Simbol Status Sosial
Infoaceh.net – Penyematan gelar ‘Haji’ atau ‘Hajjah’ di depan nama seseorang setelah menunaikan ibadah haji ternyata tidak hanya soal gelar keagamaan, tapi juga menyimpan kisah sejarah panjang, perjuangan fisik, simbol budaya, hingga dinamika politik masa kolonial.
Menurut Filolog dan Staf Ahli Menteri Agama RI, Prof. Oman Fathurahman, kebiasaan menyandang gelar haji tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah haji di masa lalu, khususnya bagi umat Islam Nusantara yang harus mengarungi laut, menembus gurun, dan bertaruh nyawa demi tiba di Tanah Suci.
“Dulu pergi haji adalah perjalanan besar yang melelahkan secara fisik dan spiritual. Maka wajar jika kemudian, mereka yang pulang selamat diberi gelar penghormatan ‘Haji’,” ujar Oman, dikutip dari laman resmi Kementerian Agama, Ahad (8/6/2025).
Penyematan gelar ini, menurut Oman, merupakan bentuk pengakuan masyarakat atas perjuangan luar biasa. Namun, ia juga mengingatkan agar gelar haji tidak berubah menjadi simbol kesombongan.
“Yang penting bukan gelarnya, tapi bagaimana pasca haji, seseorang menjadi lebih ikhlas, lebih baik akhlaknya, dan menyebarkan kedamaian,” tegas Oman.
Dalam Islam, ciri haji mabrur adalah orang yang semakin dermawan, rendah hati, dan jauh dari sikap riya atau pamer.
Antropolog UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Dadi Darmadi, juga menegaskan bahwa tradisi menyematkan gelar haji bukan hanya milik masyarakat Indonesia.
Di berbagai wilayah Melayu Islam, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, hingga Thailand Selatan, tradisi serupa juga dijumpai. Bahkan, di Mesir, tradisi itu lebih ekspresif.
“Di Mesir Utara, rumah orang yang baru pulang haji sering dilukis dengan gambar Ka’bah, unta, hingga kapal atau pesawat sebagai simbol kebanggaan,” jelas Dadi.
Dadi menyebutkan, untuk memahami mengapa gelar haji begitu penting, ada tiga perspektif yang bisa digunakan:
-
Keagamaan – Haji adalah rukun Islam kelima yang berat secara syarat dan biaya. Bagi banyak orang, menunaikan haji merupakan impian sekaligus kebanggaan seumur hidup.
-
Kultural – Cerita heroik para jamaah, mulai dari berangkat dengan kapal laut selama berbulan-bulan hingga kesaksian spiritual di Tanah Suci, menciptakan narasi kolektif yang mendongkrak nilai sosial gelar haji.
-
Kolonial – Di masa Hindia Belanda, pemerintah kolonial khawatir haji akan menumbuhkan semangat anti-penjajahan. Karena itu, sejak 1872, Belanda membuka Konsulat Jenderal di Arab Saudi untuk memata-matai para jamaah haji.
“Pemerintah kolonial bahkan mewajibkan jamaah memakai atribut khusus agar mudah dikenali. Tapi asumsi ini sempat dibantah Snouck Hurgronje yang menyebut jamaah haji saat itu tidak layak dianggap sebagai ancaman politik,” papar Dadi.
Di Indonesia, gelar haji saat ini masih menjadi simbol status sosial. Banyak tokoh agama, elite politik, hingga tokoh adat yang menyandangnya, sehingga pengaruhnya melampaui ruang ibadah dan masuk ke dalam tatanan sosial.
Namun, pengamat menilai bahwa di tengah kondisi sekarang, tantangan utamanya bukan lagi soal bagaimana menyandang gelar itu, tetapi bagaimana mempertahankan semangat haji yang mabrur, yakni keikhlasan, pelayanan terhadap sesama, dan menjauhi pamer.