Penting melihat kembali bagaimana negara selama ini gagal mereformasi institusi secara struktural maupun kultural, terutama reformasi di sektor keamanan.
Dari kebijakan menempatkan perwira militer aktif ke dalam institusi sipil, putusan vonis bebas terhadap terdakwa kasus pelanggaran HAM berat, ini semua justru paradoks dengan apa yang dijanjikan itu.
KontraS Aceh pada prinsipnya mendesak pemenuhan hak korban secara utuh, yakni tetap mengedepankan pengungkapan kebenaran, keadilan dan hak reparasinya.
Jika berulang kali Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan keberadaan tim penyelesaian non-yudisial itu tidak akan menegasikan proses yudisial, ini lebih mengherankan.
Mengapa negara di satu sisi mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat, sementara di sisi lain negara (juga) melalui Kejaksaan Agung justru selama ini menolak berkas hasil penyelidikan Komnas HAM terkait kasus-kasus tersebut dengan dalih belum cukup bukti?
“Dua statemen Menkopolhukam ini (kerja non-yudisial tim PPHAM dan mandeknya proses yudisial) sangat rancu satu sama lain. Mengapa negara menyatakan penyesalan atas peristiwa pelanggaran HAM, yang perkaranya itu dianggapnya tak cukup bukti untuk diproses secara yudisial,” kata Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna.
“Jika berulang kali negara menjanjikan pemulihan terhadap korban pelanggaran HAM tanpa langkah-langkah konkrit, terlebih pernyataan kali ini disampaikan di penghujung masa pemerintahan Presiden Jokowi, patut kita duga ini cuma dagangan politik semata,” pungkasnya. (IA)