Netizen Murka: Pemerintah Urus Call WA, Judi Online Dibiarkan Jalan Terus
Infoaceh.net – Pemerintah kembali memantik kemarahan publik. Kali ini bukan soal bansos atau proyek mangkrak, tapi rencana pembatasan layanan panggilan suara dan video pada aplikasi seperti WhatsApp dan Telegram.
Wacana yang dibawa Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) ini sontak membuat warganet meledak.
Alasannya, pemerintah disebut ingin menciptakan “keadilan” bagi operator seluler yang selama ini membangun infrastruktur tapi kalah bersaing dengan layanan over-the-top (OTT) asing yang memberi komunikasi gratis. Namun publik bertanya: keadilan untuk siapa?
Wacana ini pertama kali mencuat lewat pernyataan Direktur Strategi dan Kebijakan Infrastruktur Digital Komdigi, Denny Setiawan. Menurutnya, layanan OTT seperti WhatsApp dan Telegram menikmati pasar Indonesia tanpa berkontribusi dalam pembangunan infrastruktur digital nasional.
Padahal, kata Denny, operator seluler lokal sudah menanam investasi triliunan rupiah dan dibebani pungutan dari pemerintah. Dalam logika mereka, ketika layanan voice dan video call gratis dari OTT makin mendominasi, operator semakin kehilangan sumber pendapatan utamanya.
Salah satu solusi yang muncul: batasi saja layanan itu. Biar publik kembali pakai pulsa atau paket voice biasa.
Alih-alih mendapat dukungan, publik justru mengamuk. Jagat maya dipenuhi komentar pedas. Banyak yang menyebut wacana ini sebagai bentuk nyata kemunduran teknologi, dan makin memperlihatkan ketidakmampuan pemerintah mengatur prioritas digital.
“Mending sekalian aja jangan pake ponsel, telpon umum sebar lagi deh, saya mau buka wartel,” sindir seorang warganet.
“Pakai surat pos aja pak, biar makin adil,” tulis lainnya.
“Negara lain kasih wifi gratis, kita malah disuruh beli pulsa mahal,” ujar komentar yang disukai ribuan akun.
Tak sedikit pula yang menyindir pemerintah yang justru gagal memberantas hal-hal krusial seperti judi online dan konten pornografi, tapi sibuk mengusulkan kebijakan yang menyusahkan rakyat.
“Judol nggak bisa dibasmi, WhatsApp call malah yang diurus. Ini negara atau grup keluarga toxic?” sindir akun lain.
Setelah wacana pembatasan WhatsApp call ini viral dan memantik kemarahan publik, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid akhirnya buka suara.
Dengan tegas, Meutya menyatakan bahwa pemerintah tidak memiliki rencana ataupun mempertimbangkan pembatasan layanan voice over internet seperti WhatsApp Call, Telegram Call, atau sejenisnya.
“Saya tegaskan pemerintah tidak merancang atau mempertimbangkan pembatasan WhatsApp Call. Informasi yang beredar tidak benar dan menyesatkan,” ujar Meutya dalam klarifikasinya.
Menurutnya, wacana tersebut hanyalah masukan dari beberapa pihak seperti ATSI dan Mastel. Namun belum pernah dibahas dalam forum resmi, apalagi menjadi kebijakan pemerintah.
“Saya meminta maaf jika terjadi keresahan. Saya sudah minta klarifikasi internal agar hal serupa tak terulang. Jangan sampai isu liar mengganggu kepercayaan masyarakat,” ucapnya.
Meski sudah dibantah, kegaduhan ini menyisakan pertanyaan besar: mengapa wacana seperti ini bisa muncul dari mulut pejabat strategis?
Padahal publik tengah menanti terobosan konkret: penindakan serius terhadap judi online, perlindungan data pribadi, hingga pemerataan jaringan di pelosok. Tapi yang ditawarkan justru usulan menyeret kembali rakyat ke zaman pulsa mahal.
Wacana ini mempertegas betapa elite pembuat kebijakan kerap gagap membaca kebutuhan dan aspirasi digital masyarakat. Di saat rakyat semakin melek teknologi dan bergantung pada komunikasi digital, pejabatnya malah sibuk menghitung kerugian operator.
Jika wacana seperti ini terus berulang, bukan tidak mungkin masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada arah transformasi digital yang sedang dibangun. Sebab yang mereka butuhkan bukan kontrol, melainkan kemudahan, kecepatan, dan kebebasan berkomunikasi.