Nezar Patria Narasikan Aceh, Tsunami Hingga Informasi di Era Digital dalam Buku ‘Sejarah Mati di Kampung Kami’
Artikel tersebut pernah dimuat di TEMPO dan jadi satu dari 29 artikel yang tertuang dalam buku “Sejarah Mati di Kampung Kami”.
Menurut Bre Redana, dalam buku ini, Nezar memperlihatkan Aceh dari sudut pandang berbeda.
Banyak narasi-narasi penting soal Aceh yang disampaikan dalam rangkuman artikel ini.
“Narasi-narasi ini menurut saya penting untuk menjelaskan Aceh sekarang dan Aceh selanjutnya,” ujar Bre yang merupakan mantan wartawan Harian Kompas.
Cara Nezar menggambar peristiwa besar lewat potret kecil ikut dipuji Bre. Dia menyontohkan artikelnya tentang pabrik kecap di Kampung Mulia, Banda Aceh.
Menurutnya, Nezar sudah menunjukkan bahwa sejarah tidak melulu dibentuk oleh narasi-narasi besar.
Samiaji Bintang yang hadir sebagai penanggap menyatakan, sejak dirinya masih menjadi jurnalis, tulisan Nezar memang selalu menjadi referensi dan inspirasi.
Tulisan khas Nezar dengan lead menarik yang membuat pembaca tidak bisa lepas sampai akhir.
“Untuk menulis tulisan seperti ini perlu pemikiran dan perlu pengamatan lingkungan,” ujar Samiaji yang merupakan mantan jurnalis Majalah Pantau di Aceh.
Terbitnya buku ini, disebutnya akan sangat membantu untuk pengayaan wawasan calon jurnalis di perguruan tinggi.
Artikel-artikel dalam buku ini juga dianggapnya bisa memberikan ruang imajinasi di tengah kebuntuan politik pada hari ini.
Diskusi dan bedah buku “Sejarah Mati di Kampung Kami” dihadiri berbagai kalangan dan diawali pembacaan puisi berjudul “Sayap Seudati” oleh sastrawan yang juga jurnalis Fikar W Eda dan dimoderatori Muhammad Riza Nasser, produser BTV. (IA)