Kasus Noel menggambarkan dengan gamblang bagaimana jebakan itu bekerja. Posisi Wamenaker membuatnya seakan berada di papan yang lebih tinggi, dengan akses dan legitimasi politik.
Namun, dugaan gratifikasi yang menyeretnya adalah langkah salah yang membuat seluruh reputasi runtuh. Reformasi, yang dulu melahirkan harapan moral baru, kini harus menanggung luka ketika salah satu anak kandungnya justru terperangkap dalam logika lama kekuasaan.
Namun, tidak semua aktivis yang masuk ke dalam kekuasaan harus berakhir dengan kehilangan otonomi. Ada cara untuk menghindari jebakan Rubinstein politik ini.
Pertama, menjaga akar gerakan sosial: aktivis yang masuk struktur harus tetap terhubung dengan basis masyarakat sipil yang dulu mereka bela, bukan sekadar melebur ke dalam birokrasi.
Kedua, membawa agenda jelas: jabatan bukan sekadar posisi, tetapi sarana untuk memperjuangkan program yang konkret bagi rakyat. Tanpa agenda, jabatan hanya jadi pion kosong.
Ketiga, membangun mekanisme akuntabilitas personal, baik melalui transparansi publik maupun kritik internal dari gerakan yang tetap hidup di luar kekuasaan.
Jika tiga hal ini dijaga, aktivis tidak perlu kehilangan otonomi. Mereka bisa tetap menjadi bagian dari kekuasaan tanpa larut dalam arusnya.
Sama seperti dalam catur, kekuatan sejati bukanlah tergoda pion instan, melainkan kemampuan membaca jebakan dan memilih langkah yang lebih strategis.
Reformasi hanya akan menemukan artinya kembali jika para aktivis yang masuk ke struktur negara bisa membuktikan bahwa kekuasaan bukan jebakan, tetapi ruang baru untuk memperjuangkan cita-cita perubahan.rmol.id
*Penulis adalah Direktur Jakarta KEGIATAN operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer Gerungan alias Noel oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bisa dibaca hanya sebagai kasus hukum.
OTT Noel menyentuh sesuatu yang lebih dalam: luka moral reformasi. Aktivis 1998 yang dahulu berdiri di garis depan melawan rezim otoritarian kini justru terseret dugaan gratifikasi.