Namun, tidak semua aktivis yang masuk ke dalam kekuasaan harus berakhir dengan kehilangan otonomi. Ada cara untuk menghindari jebakan Rubinstein politik ini.
Pertama, menjaga akar gerakan sosial: aktivis yang masuk struktur harus tetap terhubung dengan basis masyarakat sipil yang dulu mereka bela, bukan sekadar melebur ke dalam birokrasi.
Kedua, membawa agenda jelas: jabatan bukan sekadar posisi, tetapi sarana untuk memperjuangkan program yang konkret bagi rakyat. Tanpa agenda, jabatan hanya jadi pion kosong.
Ketiga, membangun mekanisme akuntabilitas personal, baik melalui transparansi publik maupun kritik internal dari gerakan yang tetap hidup di luar kekuasaan.
Jika tiga hal ini dijaga, aktivis tidak perlu kehilangan otonomi. Mereka bisa tetap menjadi bagian dari kekuasaan tanpa larut dalam arusnya.
Sama seperti dalam catur, kekuatan sejati bukanlah tergoda pion instan, melainkan kemampuan membaca jebakan dan memilih langkah yang lebih strategis.
Reformasi hanya akan menemukan artinya kembali jika para aktivis yang masuk ke struktur negara bisa membuktikan bahwa kekuasaan bukan jebakan, tetapi ruang baru untuk memperjuangkan cita-cita perubahan.
*Penulis adalah Direktur Jakarta Institut
*) Ide tulisan terpercik dari status Hendrajit