One Piece Flag Versus Merah Putih di Tanah Republik
OLEH: FIRMAN TENDRY MASENGI
“DI dunia ini, ada orang-orang yang tak akan bisa kau kendalikan meski kau memiliki seluruh kekuasaan.” – Eiichiro Oda, One Piece
Prolog: Negeri yang Tak Pernah Amanah
Negeri yang dipandu oleh “kitab suci” peradaban Pembukaan & UUD 1945 sejak lama dimatikan. Indonesia adalah nama sebuah negeri yang gemar sekali memperingati kemerdekaan. Sepanjang tahun, berpuluh tahun rakyat dihimbau untuk bersorak sorai, bersolek dalam batik, mengikuti lomba-lomba penuh tawa palsu, menyanyikan lagu wajib dengan suara tercekat agar lupa perut kosong atau pekerjaan tak menentu. Miskin.
Di layar, wajah-wajah busuk pemimpin tampil terampil membagikan kebohongan dalam narasi tentang pencapaian, pembangunan, dan angka-angka pertumbuhan. Padahal kemiskinan terus bertambah.
Namun di sela-sela upacara dan sorakan, terselip tanya lirih yang tak bisa diusir: Benarkah kita telah merdeka? Ataukah kita hanya hidup dalam versi revisi dari masa kolonial, kini dijalankan oleh para elite yang berbicara dengan bahasa nasionalisme sambil menanam dinasti?
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tampaknya, bukan peristiwa yang terjadi pada 17 Agustus 1945. Ia telah menjadi “proyek kebohongan” yang terus diproduksi. Dan semakin ke sini, yang terlihat bukan penyempurnaan, melainkan pengkhianatan.
Merah Putih yang Usang dan Kehilangan Makna
Bendera Merah Putih berkibar di ribuan tiang. Tapi ia kini tak lagi menyala sebagai lambang perlawanan, melainkan simbol upacara yang kehilangan makna. Ia disulap menjadi aksesoris negara: dikibarkan ketika pemilu tiba, diturunkan ketika konsesi tambang dinegosiasikan, dicuci ketika aparat menghajar demonstran.
Merah Putih, seperti republik ini, telah menjadi ornamen dalam panggung Politik. Ia menjadi dekorasi kebohongan, bukan percikan keberanian.
Dalam ruang-ruang kekuasaan, para elite menyembah simbol negara, tetapi menista isinya. Mereka menyebut rakyat sebagai tuan, tapi menjual kedaulatannya kepada korporasi. Mereka bersumpah setia pada Pancasila, namun memperlakukan sila kelima seperti lelucon pasar gelap.