Tapaktuan, Infoaceh.net — Dukungan publik terhadap langkah tegas Bupati Aceh Selatan Mirwan MS tidak memberikan rekomendasi bagi PT Menara Kembar Abadi (MKA) semakin menguat.
Salah satunya datang dari Pemuda Kluet Tengah, Henneri, SH yang menilai keputusan tersebut sebagai langkah strategis mengakhiri praktik rente pertambangan dan mengembalikan kedaulatan sumber daya alam ke tangan rakyat serta pemerintah daerah.
Menurut Henneri, lebih dari lima belas tahun terakhir, kehadiran perusahaan tambang di Aceh Selatan tidak memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sebaliknya, masyarakat justru menghadapi banjir, debu, dan konflik sosial yang berkepanjangan.
“Sungguh ironis. Lahan milik masyarakat dan daerah, tapi perusahaan datang bermodal peta dan selembar rekomendasi lalu mengklaim kepemilikan. Setelah itu dijual lagi ke pihak lain yang punya uang. Ini semacam praktik menjual tanah rakyat dengan selembar kertas,” ujar Henneri, Selasa (28/10/2025).
Henneri menilai langkah Bupati Mirwan sejalan dengan arah kebijakan nasional yang baru ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2025 yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto.
Regulasi tersebut memberi ruang lebih besar bagi pemerintah daerah untuk memprioritaskan pengelolaan izin tambang bagi BUMD, koperasi, dan kelompok pertambangan rakyat (RMC).
“Ini momentum penting bagi Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan untuk menegaskan kemandirian daerah dalam mengelola sumber daya alam. Pemerintah pusat sudah membuka ruang, tinggal kemauan politik di daerah untuk menindaklanjutinya,” kata Henneri.
Alumni Fakultas Hukum USK itu juga mendesak agar seluruh Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi yang sudah ada di Aceh Selatan segera dievaluasi.
Menurutnya, langkah ini memiliki dasar hukum kuat melalui Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara serta Instruksi Gubernur Aceh Tahun 2025 tentang Penataan Sumber Daya Alam.
“Banyak perusahaan hanya mengantongi izin di atas kertas tanpa pernah melakukan eksplorasi lapangan. Bahkan ada yang sudah melakukan take over saham sebelum memiliki izin operasi produksi. Ini bukan investasi, ini praktik rente yang merugikan rakyat,” tegasnya.
Henneri menjelaskan, modus serupa terjadi di banyak daerah kaya sumber daya. Perusahaan kecil memperoleh izin awal hanya untuk dijadikan komoditas jual beli.
Menurut data Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM tahun 2024, sekitar 43 persen IUP eksplorasi di Indonesia tidak aktif dan sebagian besar hanya berfungsi sebagai alat transaksi.
“Kalau pola lama ini terus dibiarkan, rakyat hanya akan jadi penonton di tanah sendiri. Karena itu, Bupati Mirwan benar ketika memilih berpihak pada rakyat, bukan pada kepentingan rente tambang,” ujarnya.
Langkah Bupati Mirwan dinilai sebagai bentuk nyata keberpihakan kepada kepentingan daerah. Pemerintah Aceh Selatan kini tengah menyiapkan pembentukan BUMD holding tambang daerah yang akan menaungi unit usaha pertambangan emas, mineral, dan bahan galian lainnya.
BUMD tersebut direncanakan bermitra dengan koperasi dan kelompok penambang rakyat agar pengelolaan tambang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.
Kebijakan itu sejalan dengan amanat Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang menegaskan bahwa hasil pertambangan harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
“Jika kebijakan ini berjalan konsisten, Aceh Selatan bisa menjadi contoh nasional tata kelola tambang berbasis daerah. Ini bukan sekadar menolak izin perusahaan, tapi menegakkan kedaulatan ekonomi rakyat,” tutur Henneri.
Aceh Selatan sendiri memiliki potensi emas dan mineral lainnya yang terdapat di sejumlah kecamatan.
Namun selama ini terus menerus diberikan rekomendasi izin kepada perusahaan dan terbukti kontribusi sektor pertambangan terhadap PAD hingga kini masih sangat-sangat minim.
Henneri menegaskan, langkah berani Bupati Mirwan menghentikan praktik rente tambang menjadi awal penting untuk mengembalikan kedaulatan ekonomi ke tangan rakyat dan daerah.
“Sudah cukup rakyat jadi penonton. Sudah saatnya tambang dikelola oleh rakyat Aceh Selatan sendiri melalui BUMD dan WPR. Itulah makna sejati kedaulatan daerah,” pungkasnya.



