Banda Aceh, Infoaceh.net – Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Tinggi Aceh, Dr. Taqwaddin Husin, menegaskan bahwa pengadilan merupakan benteng akhir dalam penegakan hukum korupsi di Indonesia.
Menurutnya, keberhasilan pemberantasan korupsi tidak hanya ditentukan oleh aparat penegak hukum di tingkat penyelidikan dan penyidikan, tetapi juga oleh integritas para hakim sebagai penjaga keadilan.
“Pengadilan, baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung adalah benteng akhir penegakan hukum korupsi. Sedangkan garda terdepannya adalah Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” ujar Dr Taqwaddin dalam acara Talk Show yang digelar Himpunan Mahasiswa Prodi Tata Negara (HIMATARA), Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, di Gedung LPPM Darussalam Banda Aceh, Jum’at (31/10/2025).
Ia menekankan apabila aparat penegak hukum pada tiga lembaga eksekutif tersebut bekerja optimal dan menjunjung tinggi integritas, maka arah penegakan hukum korupsi akan berada pada jalur yang benar.
“Hakim sebagai representasi pengadilan wajib berintegritas dan berkualitas. Tidak bisa tidak. Hakim harus bijak dan adil. Putusan hakim harus memberikan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan,” tegasnya.
Menurut Taqwaddin, putusan hakim merupakan pegangan utama bagi jaksa untuk melaksanakan eksekusi, sehingga keadilan substantif dapat benar-benar dirasakan masyarakat.
Acara tersebut menghadirkan dua narasumber utama, yakni Dr. Taqwaddin dan Dr Syahdan, Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Aceh, serta dipandu moderator T. Reza Surya MH.
Kegiatan ini dihadiri sekitar 100 mahasiswa UIN Ar-Raniry dan sejumlah dosen Fakultas Syariah dan Hukum.
Dalam diskusi tersebut, Dr. Taqwaddin juga menyinggung tentang berlakunya KUHP Nasional yang akan efektif pada 2 Januari 2026 dan potensi tumpang tindihnya dengan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Ia menjelaskan beberapa pasal dalam KUHP baru, seperti Pasal 603 hingga 606, mengubah ketentuan yang sebelumnya diatur dalam UU Tipikor.
Sebagai solusi, ia menyarankan agar aparat penegak hukum menggunakan asas lex posterior dalam penyusunan dakwaan maupun pertimbangan putusan, yaitu dengan mendahulukan ketentuan yang terbaru dalam KUHP Nasional.
Menanggapi pertanyaan peserta, Dr. Taqwaddin juga menegaskan pentingnya menjaga independensi kekuasaan kehakiman dari intervensi kekuasaan eksekutif.
“Hakim berada di ranah kekuasaan yudikatif, bukan di bawah kekuasaan eksekutif. Karena itu, pihak eksekutif tidak boleh mengintervensi proses persidangan dan pengambilan putusan oleh hakim,” ujarnya.
Ia menutup dengan pesan moral bahwa penegakan hukum yang bersih harus dimulai dari integritas di tingkat penyelidikan dan penyidikan hingga ke ranah peradilan.
“Jika proses di ranah eksekutif clear dan clean, maka di ranah yudikatif, yang diibaratkan sebagai benteng akhir penegakan hukum, Insya Allah akan lahir putusan yang adil, bermanfaat, dan berkepastian hukum,” pungkas Dr. Taqwaddin, yang juga Ketua MPW ICMI Aceh.



 
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
 