“Satu hal penting perlu disampaikan adanya gempa dan tsunami dahsyat ini telah menimbulkan kesadaran bersama untuk mengakhiri konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah RI sehingga melahirkan MoU Helsinki di Finlandia 15 Agustus 2005,” ujar Alvisyahrin didampingi Taqwaddin.
Ia juga menyampaikan pada awal terjadinya tsunami Aceh, belum ada aturan khusus yang mengatur bagaimana mekanisme atau prosedur pihak internasional masuk ke Aceh, Indonesia untuk memberikan pertolongan.
Sekalipun demikian, karena konstitusi Indonesia (UUD 1945), serta kebijakan politik Indonesia yang menganut prinsip bebas aktif sebagaimana diatur dalam UU tentang Hubungan Luar Negeri dan UU tentang Perjanjian Internasional Indonesia, maka Indonesia membuka diri terhadap internasional, baik pemerintah negara asing, lembaga-lembaga persatuan bangsa-bangsa seperti UNDP, UNICEF, UN HABITAT, UNESCO dan lain-lain.
Untuk menutupi kekosongan hukum saat itu, maka tanggal 2 Maret 2005 Presiden SBY mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres Nomor 1/2005) kepada Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda untuk sesegera mungkin mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan berkomunikasi dengan pihak internasional untuk melakukan respon tanggap darurat dan mempersiapkan proses Rehabilitasi Rekonstruksi Aceh.
Kepada para peserta yang hadir dari China, Jepang, Brazil dan Indonesia serta banyak negara lain yang mengikuti simposium melalui Zoom, Dr Teuku Alvisyahrin menyatakan sebetulnya, sebelum pun ada Inpres ini para pihak internasional sudah datang ke Aceh pada hari kedua bencana.
Acara yang berlangsung serius ini dilaksanakan di Kobe University, Centennial Memorial Rokko Hall, pada 17 Januari 2025 sekaligus memperingati hari ke-30 terjadinya gempa dahsyat Kobe pada 17 Januari 1995 silam
Dari perspektif hukum, Taqwaddin menambahkan adanya Tsunami Aceh dengan pertolongan dari begitu banyak negara, dimana saat itu Indonesia belum ada Undang-undang yang mengatur berkaitan pertolongan ataupun penanganan bencana, telah menimbulkan harapan bersama pimpinan pemerintahan untuk segera membentuk undang-undang tersendiri yang menangani masalah ini.