BANDA ACEH – Drama bertajuk “Benci-benci namun rindu jua” patut disematkan dalam adegan sandiwara yang kini dilakonkan oleh legislatif dan eksekutif Aceh.
Pasalnya, di publik legislatif dalam hal ini seakan-akan begitu memprotes keras kebijakan – kebijakan Pemerintah Aceh yang tak betul, namun pada dasarnya yang dilakukan adalah mencolek bagian-bagian yang tak begitu subtansial untuk menutupi subtansi persoalan yang mesti dilakukan legislatif sebenarnya.
“Adegan berjudul penolakan Raqan Pertanggungjawaban APBA TA 2020 tersebut sebenarnya bukanlah sesuatu yang luar biasa dari kinerja DPRA dalam menjalankan fungsi pengawasan, karena berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah hingga UUPA sendiri, tak ada konsekuensi hingga sanksi sama sekali bagi pemerintah daerah apabila pertanggung jawabannya ditolak legislatif. Apalagi, sampai hari ini tidak ada satupun subtansi persoalan yang ditemukan dan ditindaklanjuti ke ranah yang lebih serius.
Publik hari ini kembali terkecoh, karena masih ada beberapa PR utama DPRA dalam menjalankan fungsi pengawasannya, namun pandangan publik seakan sengaja dialihkan kepada persoalan pertanggungjawaban ini, dikarenakan pembagian kue refocusing DPRA minim peluang mendapat bagian, sehingga tentunya mereka tidak berkenan menjadi pihak yang bertindak mencuci piring yang telah dikotori,” ungkap Koordinator Gerakan Mahasiswa Pemuda Aceh (GMPA) Muhammad Jasdi kepada media, Jum’at (3/8).
Menurut pria yang akrab disapa Jhon itu, penolakan pertanggungjawaban gubernur itu sendiri seakan-akan sengaja di-setting dengan cara dramatis mungkin sehingga sedramatis mungkin agar publik tertarik dan terfokus perhatiannya.
“Inikan sengaja di-setting ibarat pertandingan persahabatan bola dengan skor 5-4 yang menunjukkan DPRA menang tipis atas gubernur sehingga begitu menarik bagi publik, dan seakan menjelaskan hak angket semakin tak mungkin dilanjutkan. Padahal di lain hal ada PR penting dalam pengawasan DPRA yang terabaikan. Beberapa di antara persoalan tersebut diantaranya kejelasan pengawasan yang dilakukan DPRA terkait kinerja-kinerja Pansus Tindak Lanjut temuan BPK RI dan Pansus Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) serta kejelasan tindak lanjut hak angket yang tertunda,” jelasnya.
Menurut Jhon, seharusnya Pansus DPRA terkait persoalan temuan BPK sudah membongkar ke publik semua temuan yang belum ditindaklanjuti dan hasil tinjauan ke Lapangan. Begitu juga halnya dengan Pansus PBJ yang seyogyanya juga telah membongkar semua persoalan terkait pengadaan barang dan jasa di ULP Aceh yang didengung-dengungkan ada monopoli hingga pelanggaran tersebut.
“Faktanya hingga saat ini yang disampaikan Pansus DPRA itu juga pinggir-pinggirnya doank, sementara temuan-temuan yang didapatkan tak kunjung ditindaklanjuti ke tahap yang lebih serius. Bahkan temuan tersebut berpotensi dijadikan alat negosiasi untuk memuluskan rindu bertajuk ‘proyek pokir’. Jadi, perumpamaan ‘Di likeu tampa ngon jaroe wie, di likot gusuek ngon jaroe neun’ sangat tepat dengan adegan yang tengah dimainkan DPRA saat ini,” katanya.
Tak hanya itu, Jhon juga menyinggung persoalan perdebatan di tataran Pansus DPRA terkait tindak lanjut temuan BPK RI dan eksekutif tentang waktu menindaklanjuti temuan.
“Inikan ada dua versi, di satu sisi masih berpegangan 60 hari kerja yakni sampai 22 Juli 2021, namun secara jelas dalam UU Nomor 15 tahun 2004 dan Peraturan BPK Nomor 2 Tahun 2017 disebutkan waktunya 60 hari kelender atau sampai 3 Juli 2021. Intinya jika mengacu pada aturan itu terdapat lebih dari 96 dari 245 temuan BPK RI belum ditindaklanjuti pada batas waktu yang ditetapkan. Apa langkah kongkrit DPRA selanjutnya, inikan harus dipertanyakan apalagi temuan yang belum ditindaklanjtuti itu tak disampaikan ke publik, padahal DPRA sudah ke lapangan dan fakta yang ditemukan bisa jadi lebih detail,” tambahnya.
Tak hanya itu, begitupun dengan pansus PBJ, mana temuan pelanggaran yang akan ditindaklanjuti, kecuali rekomendasi mempercepat serapan anggaran agar anggaran pokir dewan dapat terealisasi.
Bahkan kenapa DPRA tak berani meminta lembaga berkompeten melakukan audit forensik terkait PBJ di Pemerintahan Aceh. “Ini adalah dasar bahwa sangat pantas dikatakan semua skema yang dilakukan tak lebih untuk negosiasi memuluskan laju realisasi pokir dewan,” pungkasnya. (IA)