Praktisi Pertanyakan SE Pj Gubernur, Apakah Warung Kopi Sarang Maksiat?
Sementara Guru Besar UIN Ar-Raniry Prof Dr Syamsul Rijal MAg menyampaikan, dalam masyarakat Aceh, warung kopi menjadi salah satu tempat untuk menjalin silaturahmi dan diskusi banyak hal. Hal ini setidaknya sudah berlaku di masyarakat Aceh sejak abad ke-18, dimana bisa dilihat dari kata-kata seorang Pahlawan Aceh Teuku Umar Teuku Umar
Kalimatnya adalah, “Beungoh singoh geutanyoe jep kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid”. (Besok pagi kita akan minum kopi di Meulaboh atau sata akan mati syahid).
Namun nahas, sebelum sempat minum kopi, Teuku Umar paginya benar-benar syahid ditembak pasukan Belanda, tidak sempat minum kopi.
“Dari kata-kata Teuku Umar tersebut, filosofinya apa? Bahwa minum kopi (warung kopi) memiliki dimensi sosial dan ekonomi,” ujarnya.
Terkait Surat Edaran Pj Gubernur Aceh itu, katanya, dalam upaya memperkuat syariat Islam yang kini menuai pro kontra pada poin penutupan warung kopi di atas pukul 12 malam, ini hal yang lumrah.
Menurut Prof Syamsul Rijal, mestinya yang lebih dibutuhkan adalah edukasi kepada masyarakat perihal penegakan syariat Islam. Misalnya meminta pemilik warung kopi agar memberi warning/pemberitahuan kepada pengunjung setiap 15 menit menjelang waktu shalat tiba. Pengunjung diingatkan waktu shalat akan segera tiba.
“Namun masalahnya, siap nggak kita setiap waktu shalat tiba, kita bergegas untuk melaksanakannya. Saya rasa hal seperti ini perlu diedukasi agar tertanam di hati kita masyarakat Aceh akan pentingnya menjaga waktu shalat, menunaikan kewajiban. Kalau kita sudah terbiasa menjaga shalat maka dengan sendirinya syariat Islam itu akan tegak dan berjalan dengan baik di Aceh,” pungkasnya. (IA)