Falevi menilai, di era 4.0 ini merupakan momentum bagi anak muda Aceh harus kreatif dan tak takut bersaing dengan anak muda yang ada di luar Aceh. Kapasitas dan kapabilitas pemuda Aceh bukan sebuah hal yang diragukan.
“Tetapi secara substansi keilmuan dan secara substansi kapasitasnya juga anak-anak Aceh bisa bersaing baik level nasional maupun internasional. Artinya sesuatu hal itu tidak ada yang tidak mungkin dilakukan,” ungkapnya.
Politisi Partai Naggroe Aceh (PNA) ini menyebutkan, perkembangan digitalisasi dan informatika kini menjadi sebuah kewajiban dan keharusan bagi pemuda Aceh untuk mempelajari dan memiliki itu. Bagaimana pemuda yang sukses itu menguasai teknologi, bukan teknologi yang menguasai pemuda.
“Memanfaatkan teknologi ini yang dikemas dengan sangat bagus bisa melakukan promosi secara digital. Lalu digitalisasi itu menjadi ekonomi kreatif bagi anak-anak muda Aceh. Sehingga anak muda ini satu HP bisa melahirkan berbagai karya yang dimiliki. Ini yang harus kita tempah, dan saya pikir kita orang Aceh dan anak muda Aceh tidak bodoh-bodoh amat,” jelasnya.
Dalam kesempatan itu Wakil Ketua GP Anshor Aceh Bustami, memaparkan sejumlah tantangan yang dihadapi pemuda Aceh. Berbicara pemuda, kata dia, lahirnya bangsa Indonesia tak terlepas dari keterlibatan pemuda dalam mendirikan NKRI.
Ia melihat, tantangan pemuda hari ini salah satunya maraknya radikalisme dan terorisme yang menjadi persoalan baru. Sehingga dibutuhkan kontribusi pemuda Aceh untuk mencegah hal-hal yang seperti ini.
Menurut Bustami, jika radikalisme ini tidak dicegah maka akan terjadi perpecahan. Sebab, radikalisme tidak hanya bicara soal agama tetapi juga bicara soal kelompok dan antar organisasi masyarakat (Ormas).
“Kita khawatir kalau radikalisme ini tidak dicegah itu akan berefek kepada ketidakharmonisan antar OKP,” katanya.
Selain itu, maraknya peredaran narkoba juga menjadi ancaman bagi generasi penerus Aceh. Pemuda mesti menjadi garda terdepan dalam proses pencegahan mapun pemberantasan narkoba tersebut.