Ia menambahkan, lapangan pekerjaan juga menjadi tantangan bagi pemuda Aceh. Ia mengatakan, pemerintah perlu hadir untuk membuka lapangan pekerjaan bagi anak-anak muda, sehingga mereka punya kesempatan dan peluang kerja seperti yang lainnya.
“Tanpa ada lapangan kerja, anak muda juga tidak terarah dan menjadi persoalan baru bagi Aceh. Karena itu saya sangat berharap di pemerintah, kita mendorong agar lapangan kerja itu terbuka luas bagi pemuda Aceh,” katanya yang juga Komisioner KKR Aceh.
Sementara itu, Pembina Jaringan Anak Syuhada Aceh (JASA) Muhammad Joni, menyampaikan ada banyak keluhan yang ingin disampaikan kepada pemerintah pusat. Menurutnya, hampir 17 tahun Aceh damai, implementasi dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) belum sepenuhnya berjalan maksimal.
“Dengan berakhirnya konflik yang panjang dan perjanjian MoU Helsinki, kami punya harapan baru, bagaimana kami menginginkan putra putri Aceh ke depan jangan lagi merasakan apa yang kami rasakan selama ini,” kata Joni.
Joni menjelaskan, Aceh sudah banyak mengukir sejarah. Menurutya, sejarah terakhir yang tercipta di Aceh adalah mewujudkan perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah RI.
Akan tetapi, lanjut dia, hingga hari ini butir-butir perjanjian itu sendiri masih jauh dari harapan seluruh rakyat Aceh.
Oleh karena itu, Joni berharap, pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap perjanjian MoU Helsinki itu semestinya segera direalisasikan di Aceh.
“Kalau itu tidak terealisasi, maka kita khawatirkan ke depan nanti akan banyak lagi lahir anak-anak syuhada Aceh seperti kami atau anak-anaka korban konflik seperti kami. Itu semua sangat tidak kita inginkan,” pungkasnya.
Di akhir sesi diskusi, muncul beberapa rekomendasi dari seluruh peserta dan narasumber terkait impelentasi UUPA yang harus dikawal oleh semua pihak di Aceh.
Selain itu, peserta juga merekomendasikan kepada Pemerintah Aceh dan DPRA untuk meminta Bank Aceh Syariah agar menyalurkan pembiayaan untuk para pelaku UMKM di Aceh. (IA)