BANDA ACEH — Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Saiful Bahri alias Pon Yahya mengungkapkan bahwa Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh yang telah sekian lama disahkan oleh DPRA, dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) pada 2016 saat dijabat Tjahjo Kumolo.
Karena menurutnya bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah.
Pembatalan itu tercantum dalam Surat Kemendagri RI Nomor: 188.34/2723/SJ tertanggal 26 Juli 2016 yang ditandatangani langsung Mendagri Tjahjo Kumolo dan ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia.
Kemudian DPRA menjelaskan yang dimaksud dengan PP 77/2007 itu lambang dan daerah seperti bulan sabit. Dengan menyampaikan yang disahkan oleh DPRA itu bulan bintang, bukan bulan sabit.
“DPRA menyampaikan klarifikasi yang dimaksud dengan PP 77/2007 itu lambang dan daerah seperti bulan sabit. Sementara yang disahkan oleh DPRA itu bulan bintang bukan bulan sabit,” kata Saiful Bahri.
Pernyataan itu disampaikannya saat
menggelar coffee morning dengan wartawan di Ruang Rapat Serba Guna DPRA, Jum’at (27/5/2022).
Dalam pertemuan itu Pon Yahya didampingi Anggota DPRA dari Partai Aceh Tarmizi SP, Kabag Persidangan dan Perundang-Undangan Khudri dan Kasubbag Humas, Protokol dan Publikasi DPRA Mawardi Adami.
Namun demikian, lanjut Pon Yahya, dirinya mengaku tidak mengetahui adanya pembatalan tersebut dan baru tahu setelah dirinya dilantik sebagai Ketua DPRA beberapa waktu lalu.
“Pembatalan qanun ini sama sekali tidak diketahui, ini dibatalkan oleh Tjahjo Kumolo atas nama Mendagri karena katanya bertentangan dengan PP Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah,” ucap politisi Partai Aceh.
Ditambahkannya, Mendagri membatalkan Qanun tersebut 3 tahun setelah Qanun tentang Bendera disahkan oleh DPRA. Seharusnya jika ingin di batalkan, tidak boleh lebih dari 60 hari sejak qanun disahkan.
Namun demikian, hingga saat ini Ketua DPRA mengaku masih terus memperjuangkan soal Qanun Bendera dan Lambang Aceh ini hingga selesai.