“Ini akan terus kita perjuangkan dan meyakinkan Kemendagri terkait dengan aturan yang sudah disahkan oleh pihak DPRA,” sebutnya.
Ia mengatakan usai dilantik sebagai Ketua DPRA, sudah mengunjungi Mendagri bersama Ketua Umum Partai Aceh Muzakir Manaf atau Mualem dan Anggota DPR RI asal Aceh TA Khalid. Saat itu kedatangan mereka untuk mempertanyakan pembatalan tersebut. Namun saat diminta bukti surat pembatalan secara fisik, Mendagri tidak menunjukkannya surat pembatalan itu karena khawatir akan terjadi konflik.
Pon Yahya mengatakan bahwa jika sebenarnya pihak DPRA sudah mencoba menawarkan win-win solution terkait persoalan ini, dimana isinya diperlukan adanya perubahan terhadap isi PP Nomor 77 terlebih dahulu.
“Sudah kita tawarkan, silahkan ubah PP dulu kalau mau hantam soal bendera Aceh. Lagi pula, terkait pembatalan ini sama sekali tidak diketahui oleh DPRA,” sebut Pon Yahya.
Sementara terkait pertemuan silaturahmi dan coffe morning dengan wartawan, Pon Yahya menyampaikan, ini bertujuan mempererat silaturahmi dengan insan jurnalis.
“Kita semua ada tanggung jawab atas kemajuan Aceh ke depan. Mungkin kita ditempatkan di berbagai tempat, ada yang di dewan, ada wartawan, yang pasti kita semua ada tanggung jawab yang sama untuk memajukan Aceh,” katanya.
Politisi Partai Aceh itu mengungkapkan, bahwa Aceh sebelumnya pernah mengalami konflik berkepanjangan yang berakhir damai pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
“Dulu kita pernah konflik hingga berakhir damai. Hari ini butir-butir perdamaian belum habis terwujud. Karenanya kita harus ambil peran sesuai keahlian kita masing-masing,” pungkasnya. (IA)