“Misalkan ada pembangunan rumah ibadah lalu ketika anggarannya turun dilakukan pengutipan fee, sehingga uang yang semestinya diterima masyarakat tidak lagi utuh, itu tentunya tidak dibenarkan. Ataupun bisa saja alokasi anggaran yang diperuntukkan untuk pembukaan jalan dan sebagainya diberikan namun pihak yang menjadi perantara meminta imbalan tertentu berupa lahan dengan luar tertentu dan sebagainya,” jelasnya.
KPK dan Kejagung juga perlu menelusuri adanya kemungkinan penggunaan CSR BUMN untuk kampanye pada Pemilu.
Dia menyebutkan, jika hal tersebut terjadi maka fungsi CSR BUMN yang semestinya diperuntukkan untuk rakyat justru tidak dinikmati oleh rakyat.
“Anggaran besar dalam bentuk CSR BUMN merupakan tanggung jawab sosial sebuah perusahaan kepada masyarakat di sekitar perusahaan itu berada dan jumlahnya relatif besar. Untuk di Aceh, sudah menjadi perbincangan di masyarakat bahwa untuk mengakses anggaran CSR BUMN ini, masyarakat harus berdasarkan rekom pihak tertentu yang disebut-sebut orang dalam, ini harus dicek kenapa bisa demikian, apa ada permainan dan penyalahgunaan,” sebutnya.
Selama ini, lanjut Mahmud, kurangnya transparan ke publik besaran hingga alirannya untuk apa saja penggunaan CSR ini membuka peluang terjadinya korupsi dan penyalahgunaan.
“Jangan sampai ada pula yang punya kapling-kapling dan kuota untuk penggunaan CSR yang digunakan untuk kepentingan pribadi dan bahkan memperkaya diri. KPK atau Kejagung kita harapkan dapat menelusuri peruntukannya agar CSR BUMN di Aceh terbebas dari praktek korupsi,” tutupnya. (IA)