Banda Aceh, Infoaceh.net — Rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Prof Dr Mujiburrahman MAg membuka wacana akademik tentang kemungkinan dekriminalisasi ganja dalam konteks hukum nasional.
Ia menilai isu tersebut perlu dikaji secara ilmiah dan proporsional, mengingat sejarah panjang penggunaan ganja di Aceh.
Pernyataan itu disampaikan dalam Seminar Nasional FISIP UIN Ar-Raniry, Jumat (24/10), yang mengangkat tema “Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam Konteks KUHP Baru”.
Seminar ini menghadirkan Hakim Konstitusi RI Dr. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, pakar hukum pidana UII Dr. Aroma Elmina Martha dan Dekan Fakultas Hukum USK Dr. M. Gaussyah.
“Tanpa proses kriminalisasi dan dekriminalisasi yang tepat, banyak hukum bisa menjadi tidak humanis dan tidak adil,” ujar Mujiburrahman dalam sambutannya.
Ia mencontohkan ganja di Aceh yang dahulu dikenal sebagai bumbu masakan, namun kini membuat banyak anak muda masuk penjara.
“Ketika saya ke Jerman, ganja sudah dilegalkan untuk medis dan punya nilai ekonomi tinggi. Pertanyaannya, apakah hukum nasional kita memungkinkan dekriminalisasi untuk tujuan medis dan ekonomi masyarakat?” katanya.
Rektor UIN Ar-Raniry menegaskan pentingnya kebijakan hukum pidana yang mempertimbangkan nilai kemanusiaan dan kearifan lokal. “Harapan saya, melalui seminar ini lahir gagasan-gagasan segar untuk hukum nasional yang lebih humanis dan sesuai nilai bangsa,” ujarnya.
Hakim Konstitusi Dr. Daniel Yusmic menegaskan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang membentuk norma pidana baru. “MK adalah negative legislator, bukan positive legislator. Kami tidak membuat norma, hanya memastikan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi,” jelasnya.
Pakar hukum pidana Dr. Aroma Elmina Martha menambahkan, Qanun Jinayat Aceh yang merupakan living law dapat menjadi dasar penguatan hukum nasional. “Pasal 2 dan 3 KUHP baru mengakui hukum yang hidup di masyarakat. Ini peluang besar bagi sinergi hukum nasional dan lokal,” ujarnya.
Dr. M. Gaussyah menutup dengan menegaskan pentingnya pendekatan pencegahan berbasis kearifan lokal. “Rasa malu dan tanggung jawab kolektif adalah benteng moral sebelum hukum bekerja,” katanya.
Seminar yang dihadiri sivitas akademika, mahasiswa, dan praktisi hukum itu menegaskan perlunya dialog terbuka tentang arah pembaruan hukum nasional yang humanis dan kontekstual — termasuk dalam isu sensitif seperti ganja di Aceh.



