Banda Aceh, Infoaceh.net – Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memperluas kewenangan Pemerintah Aceh untuk ikut mengelola minyak dan gas bumi (migas) hingga 200 mil laut dari garis pantai atau offshore, disambut hangat berbagai kalangan di Aceh.
Kebijakan bersejarah ini dinilai sebagai langkah nyata menuju kedaulatan ekonomi daerah yang selama ini diidamkan masyarakat Tanah Rencong.
Apresiasi tinggi datang dari Relawan Pengusaha Muda Nasional (Repnas) Aceh yang menilai keputusan tersebut bukan hanya soal pengelolaan migas, tetapi simbol pengakuan terhadap kemampuan Aceh dalam mengelola kekayaannya sendiri.
Repnas juga menyampaikan penghargaan kepada Ketua Dewan Pembina Repnas Indonesia Maju, Bahlil Lahadalia, atas peran dan keberpihakannya terhadap kemajuan daerah.
“Kami dari Repnas Aceh memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Ketua Dewan Pembina kami, Bahlil Lahadalia. Langkah beliau ini adalah bentuk nyata keberpihakan terhadap daerah, terutama Aceh, yang selama ini terus berjuang agar diberi ruang lebih besar dalam mengelola kekayaannya,” ujar Ketua Repnas Aceh, Mahfudz Y. Loethan, di Banda Aceh, Sabtu (1/11).
Mahfudz menjelaskan, keputusan Bahlil ini tidak lahir tiba-tiba, melainkan hasil dari perjuangan panjang dan komunikasi intens antara berbagai pihak di Aceh dengan pemerintah pusat.
Ia menyebut, tokoh-tokoh seperti Gubernur Muzakir Manaf (Mualem) dan Wakil Gubernur Aceh Fadhlullah memiliki andil besar meyakinkan pemerintah pusat bahwa Aceh siap dan layak mendapatkan kepercayaan lebih luas dalam pengelolaan migas.
“Peran Mualem dan Fadhlullah sangat penting dalam membuka pintu komunikasi yang konstruktif ke pemerintah pusat. Ini buah dari kerja kolektif yang akhirnya terjawab melalui kebijakan Menteri Bahlil,” ujar Mahfudz.
Ia menambahkan, Repnas Aceh selama ini juga aktif menyuarakan aspirasi serupa melalui Ketua Umum Repnas, Anggawira, yang juga tenaga ahli Menteri ESDM bidang monitoring dan evaluasi Infrastruktur Migas, serta anggota Komisi Pengawas SKK Migas.
Menurutnya, peran tersebut turut memperkuat komunikasi antara dunia usaha dan pemangku kebijakan energi di tingkat nasional.
“Kami bersyukur aspirasi yang selama ini kami sampaikan lewat Ketum Anggawira juga mendapat ruang di Kementerian ESDM. Ini menunjukkan bahwa suara dari daerah juga ikut berkontribusi dalam arah kebijakan nasional,” tambahnya.
Lebih lanjut Mahfudz menegaskan perluasan kewenangan ini akan membawa dampak besar bagi perekonomian Aceh. Ia optimis kebijakan tersebut akan menjadi momentum penting untuk mengubah wajah ekonomi provinsi ini yang selama bertahun-tahun masih lekat dengan label sebagai daerah termiskin di Sumatera.
“Kami yakin, dengan kewenangan baru ini, Aceh akan mampu keluar dari stigma sebagai daerah termiskin di Sumatera. Tanah Rencong punya potensi luar biasa – sekarang saatnya potensi itu diolah dengan kemandirian dan visi besar untuk kemakmuran rakyat,” tegasnya.
Menurut Mahfudz, pengelolaan migas hingga 200 mil laut bukan sekadar memperluas ruang eksplorasi, tetapi membuka peluang bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), penyerapan tenaga kerja, dan keterlibatan pengusaha lokal dalam rantai besar industri energi ini.
“Kebijakan ini memperkuat posisi BPMA, membuka kolaborasi dengan SKK Migas, dan memberi ruang bagi pengusaha Aceh untuk menjadi bagian dari industri strategis nasional. Ini bukan hanya kemajuan ekonomi, tapi juga kebangkitan mental dan kemandirian Aceh,” katanya.
Repnas, lanjut Mahfudz, siap bersinergi dengan Pemerintah Aceh, Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) dan pelaku usaha nasional dan internasional untuk memastikan potensi besar ini dikelola secara transparan, profesional dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat.
“Tantangan kita sekarang bukan lagi menuntut kewenangan, tetapi mengelola kepercayaan. Dengan sinergi dan kerja nyata, kami yakin Aceh akan berdiri sejajar dengan provinsi maju lainnya di Indonesia,” pungkas Mahfudz.
Kebijakan yang ditandatangani Menteri Bahlil Lahadalia, yang juga Ketua Dewan Pembina Repnas Indonesia Maju, menjadi penanda dimulainya babak baru bagi Aceh – dari sekadar penonton, kini menjadi pelaku utama dalam pengelolaan sumber daya strategis bangsa. Langkah ini diyakini akan menjadi pijakan kuat menuju Aceh yang mandiri, berdaya saing dan sejahtera.



