Banda Aceh – Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Asrizal H Asnawi menggugat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai Tergugat I, SKK Migas (Tergugat II), PT Pertamina (Tergugat III) dan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) (Tergugat IV).
Gugatan itu karena dinilai sangat merugikan Aceh khusunya Kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Timur yang merupakan daerah pemilihan Asrizal.
Gugatan tersebut dilayangkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat oleh kuasa hukum advokad Safaruddin, SH CS dari Law Firm Safar and Partners. Gugatan di daftarkan Kamis (27/5) dengan register nomor 321/Pdt.G/2021/PN Jakart Pusat.
Gugatan tersebut dilayangkan Asrizal dikarenakan tiga instansi pengelola minyak dan gas bumi di blok dua daerah itu masih melakukan kontrak dengan SKK Migas, padahal Aceh sudah ada BPMA yang mengelola Migas di Aceh berdasarkan PP Nomor 23 tahun 2015 tentang pengelolaan bersama sumber daya minyak dan gas bumi di Aceh dan SKK Migas sudah mengalihkan kontrak Pertamina ke BPMA sebagaimana diatur dalam pasal 90 PP 23/2015.
“Kita sangat dirugikan akibat pengalihan kontrak tersebut,” ujar Asrizal.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) asal Aceh Tamiang ini memperkirakan Aceh mengalami kerugian sekitar Rp 2,6 triliun, dan Asrizal meminta agar perkiraan kerugian itu dibayarkan kepada Pemerintah Aceh dan meminta Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memerintahkan kepada Kementerian ESDM, SKK Migas dan Pertamina agar mengalihkan kontraknya kepada BPMA.
Beberapa poin gugatan diantaranya:
Khusus mengenai pengelolaan sumberdaya alam minyak dan gas bumi di Aceh, telah diundangkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam Pasal 160 UU tersebut dijelaskan bahwa pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah Aceh akan dikelola secara bersama antara Pemerintah dengan Pemerintah Aceh dengan membentuk suatu BPMA yang ditetapkan bersama.
Selanjutnya, kontrak kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dalam rangka pengelolaan minyak dan gas bumi di darat dan laut di wilayah Aceh dapat dilakukan jika keseluruhan isi perjanjian kontrak kerja sama telah disepakati bersama oleh Pemerintah dan Pemerintah Aceh.
Sebelum melakukan pembicaraan dengan Pemerintah mengenai kontrak kerja sama tersebut Pemerintah Aceh harus mendapat persetujuan DPRA dimana kewenangan pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi sesuai dengan Undang-undang tersebut merupakan wujud kepercayaan yang ikhlas dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam rangka mempercepat terwujudnya kesejahteraan dan keadilan di Aceh.
Oleh karena itu Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam minyak dan gas bumi di Aceh ini mengatur mengenai kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah Aceh sesuai amanat di dalam Pasal 160 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Antara lain meliputi pengaturan mengenai survei umum, data dan wilayah kerja minyak dan gas bumi. Pembentukan, kontrak kerja Sama, kebijakan dalam kontrak kerja sama yang meliputi penentuan target jumlah produksi minyak dan gas bumi, produksi yang dijual (lifting), pengembalian biaya produksi (cost recovery), penerimaan negara, pengembangan masyarakat, dan penunjukan auditor independen, kewajiban pasca operasi termasuk reklamasi.
Bahwa SKK Migas dan Kementerian ESDM sejak tahun 2005 telah menandatangani kontrak kerja sama migas ( dahulunya Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dengan PT Pertamina EP dengan wilayah ekplorasi seluruh nusantara Indonesia, dan di Aceh ada tiga blok yaitu, Pertamina mengelola tiga blok migas di Aceh, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) 1 dengan luas wilayah lebih kurang 4.392 Km persegi, NAD -2 seluas 1.865 Km persegi, East Aceh seluas 76,93 Km persegi, dan Perlak sekitar 10 Km persegi.
Bahwa akibat tidak dialihkannya kontrak Tergugat III kepada tergugat IV oleh Tergugat II dan Tergugat I, maka Daerah Aceh telah kehilangan pendapatannya dari migas Wilayah Kerjar (WK) Migas tersebut yang menurut estimasi Penggugat sekitar Rp 2,6 triliun.
Bahwa dengan hilangnya pendapatan untuk Pemerintah Aceh maka tujuan pemerintah pusat untuk mensejahterakan masyarakat Aceh akan sulit tercapai apalagi dalam dua tahun terakhir Aceh menjadi juara 1 sebagai daerah termiskin di Sumatera.
Padahal jika pendapatan dari WK Migas yang di kelola oleh Tergugat III itu diterima seperti yang Penggugat estimasikan tentu akan sangat membantu masyarakat Aceh keluar dari kemiskinan dan keluar dari Provinsi termiskin di Sumatera, jika saja pendapatan Aceh dari migas WK yang di kelola Tergugat III seperti yang Penggugat estimasikan maka jika di bangun rumah layak huni bagi masyarakat Aceh yang dengan biaya Rp 80 juta/rumah akan terbangun 33.349 rumah layak huni bagi masyarakat Aceh. (IA)