Banda Aceh – Presiden Republik Indonesia diminta agar menetapkan payung hukum untuk pemilihan Kepala Daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota agar kembali dipilih melalui lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) di Provinsi Aceh.
Hal itu disampaikan Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin, dalam surat usulannya kepada Presiden yang tembusannya dikirim kepada Ketua DPR RI, Ketua Komisi II DPR RI, Menkopolhukam dan Menteri Sekretaris Negara, Senin (23/11).
Safaruddin menjelaskan, usulan itu disampaikan setelah melakukan kajian yang mendalam terhadap pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, Gubernur, Bupati dan Wali Kota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota dipilih secara demokratis.
”Pengertian demokratis ini yang jika dilihat dari latar belakang perumusannya, juga sesuai dengan ketentuan pasal 18B UUD 1945, frasa secara demokrasi dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 memberikan pilihan bahwa pemilihan dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat dan dapat pula secara tidak langsung oleh DPRD, dimana dalam sila keempat Pancasila juga telah disebutkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,” jelasnya.
Safaruddin menambahkan, Aceh sebagai salah satu provinsi dengan hak istimewa dan berstatus otonomi khusus.
Satu keistimewaan Aceh adalah dalam menerapkan hukum syariat Islam, yang jika dihubungkan dengan pemilihan pemimpin dalam sistem Islam juga tidak dilakukan secara langsung, tapi melalui sebuah Majelis Umat yang dibentuk untuk memilih calon khalifah/pemimpin, yang dalam sistem konstitusi negara diasosiasikan dalam lembaga Dewan Perwakilan Rakyat.
“Kami mohon kepada Presiden Republik Indonesia dan DPR RI agar menetapkan payung hukum untuk pemilihan kepala daerah baik provinsi, kabupaten/kota agar dipilih melalui lembaga DPRA, DPRK,” pungkasnya.
Ketua YARA Safaruddin dalam keterangan tertulisnya juga mengungkapkan beberapa alasan yang menjadi pertimbangan meminta Pemilihan Kepala Daerah di Aceh dikembalikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota.
Safaruddin menjelaskan, selama beberapa kali Pilkada di Aceh yang dipilih secara langsung dengan harapan mendapat legitimasi yang kuat dari rakyat, namun fakta yang dijumpai akhir-akhir ini ternyata risiko dari pelaksanaan Pilkada yang sangat berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
“Apalagi jika pelaksanaan Pilkada tidak dijalankan secara maksimal akan menimbulkan gesekan dan ekses negatif, menciptakan suasana tidak kondusif, mencekam dan akan menghambat dinamika ekonomi lokal, bahkan telah menimbulkan korban jiwa,” ungkap Safaruddin.
Alasan lainnya, kata Safaruddin, kekalahan politik salah satu calon yang diusung akan membawa pengaruh pada emosional pendukungnya yang merasa kecewa, sehingga menimbulkan amukan massa yang ekspresif, bahkan juga menimbulkan penyakit psikososial dalam masyarakat, seperti beban psikologis dan psikotraumatik.
“Demikian pula dalam konteks dinamika pembangunan ekonomi masyarakat, konflik pasca-Pilkada dengan aksi anarkisme massa dapat menghambat denyut ekonomi lokal yang mayoritas adalah masyarakat kecil yang tidak berdaya.
Sangat beralasan jika beberapa kalangan berpendapat terjadinya krisis pangan dan komoditi penting bagi masyarakat di daerah yang terjadi akhir-akhir ini secara tidak langsung berkorelasi dengan daya konsentrasi pemerintah pusat maupun lokal yang lebih memerhatikan persoalan politik sehingga persoalan kesejahteraan rakyat terabaikan,” tambah Safaruddin.
Masih menurut Safaruddin, di beberapa wilayah yang telah menyelenggarakan Pilkada tidak melahirkan legitimasi. Hasil yang ditetapkan tidak memiliki wibawa sebagai hasil yang sah sehingga memunculkan gelombang protes dari berbagai pihak, terutama dari pendukung calon yang kalah. Faktor lain masih banyaknya orang yang tidak dapat berpartisipasi dalam Pilkada.
“Faktor selanjutnya masih adanya ketidakrahasiaan dalam pemilihan dan tersumbatnya hak-hak dasar warga negara, misalnya warga memilih di bawah tekanan, baik dari organisasi massa, preman politik dan lain-lain,” sebutnya.
Selain itu, kata Safaruddin, dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah terdapat berbagai macam aktor dan kepentingan. Terdapat banyak potensi-potensi dan sumber-sumber yang akan menyedot perhatian para aktor yang bermain dan keinginan untuk merebutnya.
Hal itu dikarenakan Pilkada dipengaruhi struktur-struktur sosial dan politik yang beragam dan konstitutif, sehingga tidak saja akan menciptakan apa yang disebut sebagai konstruksi sosial yang konsensusual, tetapi juga konfliktual.
“Pemilihan kepala daerah di Indonesia selalu dibayangi konflik. Konflik ini bukan saja antara peserta dan para pendukungnya, tetapi juga antara peserta dengan penyelenggara, bahkan dengan institusi-institusi yang lain, seperti pemerintah lokal (daerah), aparat keamanan dan dengan masyarakat,” pungkasnya. (IA)