Banda Aceh, Infoaceh.net — Transparansi Tender Indonesia (TTI) menilai pelaksanaan tender proyek Pembangunan Sekolah Rakyat di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Aceh, tidak berpihak pada pengusaha lokal.
Menurut TTI, seluruh paket besar proyek tersebut didominasi oleh perusahaan milik negara (BUMN).
Koordinator TTI, Nasruddin Bahar, Rabu (29/10/2025), menyebutkan dari hasil pantauan pihaknya terhadap Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), hampir seluruh tender besar Sekolah Rakyat dimenangkan oleh BUMN.
“Dari pantauan di LPSE Kementerian PUPR, nilai satu paket pekerjaan rata-rata di atas Rp500 miliar, bahkan ada yang mencapai Rp1,2 triliun per paket. Dengan nilai sebesar itu, praktis hanya perusahaan BUMN yang mampu bersaing,” ujar Nasruddin.
Sebagai contoh, lanjutnya, di Provinsi Aceh saat ini terdapat dua paket besar yang sedang tayang di LPSE Kementerian PUPR.
Paket Pembangunan Sekolah Rakyat Aceh 1 senilai Rp759,7 miliar, meliputi lokasi di Kabupaten Nagan Raya, Aceh Singkil dan Kota Subulussalam.
Paket Pembangunan Sekolah Rakyat Aceh 2 senilai Rp786,9 miliar, mencakup Kabupaten Bireuen, Aceh Besar, dan Kota Lhokseumawe.
Menurut Nasruddin, penggabungan sejumlah pekerjaan lintas kabupaten/kota dalam satu paket besar telah menyalahi semangat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2021 beserta perubahannya.
“Perpres dengan jelas melarang penggabungan paket yang seharusnya bisa dilaksanakan oleh pengusaha kecil dan menengah (UKM). Pengguna anggaran tidak boleh memusatkan kegiatan di beberapa daerah menjadi satu paket besar,” tegasnya.
Ia menilai, praktik tersebut telah menghilangkan peluang pengusaha kecil dan menengah (UMKM) untuk ikut serta dalam proyek pemerintah.
Besarnya nilai paket membuat mereka tidak memenuhi syarat kemampuan dasar (KD) yang dipersyaratkan dalam lelang.
“Jika rata-rata nilainya di atas Rp700 miliar, sudah pasti pengusaha lokal tidak sanggup memenuhi KD. Akhirnya hanya BUMN yang bisa ikut tender,” ujarnya.
Nasruddin juga menyebutkan bahwa kondisi tersebut membuat pengusaha lokal hanya menjadi subkontraktor atau ‘kepala tukang’ di proyek yang dimenangkan BUMN.
“Faktanya di lapangan, BUMN pemenang tender hanya memberikan subpekerjaan kepada pengusaha lokal dengan harga yang sangat rendah. Sistem pembayarannya pun sering tersendat, tidak sesuai kondisi di lapangan,” ungkapnya.
TTI menilai, jika pada akhirnya pekerjaan fisik di lapangan tetap dikerjakan oleh pengusaha lokal, maka seharusnya tender dilakukan terpisah per daerah agar mereka memiliki kesempatan bersaing secara sehat.
“Jika pemerintah ingin mendorong pertumbuhan UMKM seperti visi Presiden Prabowo, maka kebijakan tender seharusnya memberi ruang seluas-luasnya kepada pengusaha kecil dan menengah, bukan justru membatasi dengan cara memaketkan proyek menjadi besar-besar,” pungkasnya.



