Tersangka Korupsi PPJ Mengaku Diintimidasi, Pengacara Laporkan Jaksa Kejari Lhokseumawe ke Jamwas Kejagung
LHOKSEUMAWE —- Tim kuasa hukum bersama kasus dugaan korupsi insentif pajak penerangan jalan (PPJ) Kota Lhokseumawe yang terdiri dari Zaini Djalil SH, Erlanda Juliansyah Putra SH MH, Muslim AR SH dan Rekan mengadukan tindakan oknum jaksa dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Lhokseumawe ke Jaksa Agung Muda (Jamwas) Kejaksaan Agung RI, karena mengintimidasi salah satu kliennya yang sedang menjalani Praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Lhokseumawe.
Zaini Djalil menyampaikan, dua oknum dari Kejari Lhokseumawe berinisial SC dan RK menjemput paksa salah satu kliennya pada tengah malam dan mengintimidasi agar mencabut Praperadilan.
Oknum itu mengancam jika Praperadilan terus berlanjut, maka tuntutan hukumannya akan diperberat.
“Kedua oknum tersebut juga mengancam akan segera menetapkan kembali klien kami sebagai tersangka apabila klien kami memenangkan Praperadilan dan mereka juga menanyakan berapa jumlah honor yang dibayarkan kepada pengacara,” kata Zaini Djalil, Kamis (7/12/2023).
Menurut Zaini Djalil, oknum tersebut telah mengajukan sejumlah pertanyaan tak etis disampaikan oleh aparat penegak hukum dengan menuduh tuduhan tertentu ke majelis hakim.
Selain itu, kliennya dijanjikan tuntutan ringan jika bersedia mencabut Praperadilan.
Zaini Djalil mengatakan timnya telah melaporkan kedua oknum jaksa itu ke Jamwas Kejagung atau Asisten Pengawas (Aswas) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh agar diproses sesuai aturan.
“Apalagi setelah kami selidiki ternyata kedua oknum tersebut kabarnya adalah penjaga tahanan dan kami dalam laporannya menyebutkan keduanya merupakan jaksa fungsional sehingga peranan Aswas dan Jamwas di sini penting untuk memastikan oknum tersebut sesungguhnya siapa dan atas dasar apa mereka menyampaikan hal demikian. Kami selaku kuasa hukum tentu kecewa dengan sikap tersebut karena ada proses yang tidak fair dan sangat bertentangan dengan prinsip penegakkan hukum,” kata Zaini Djalil.
Dengan pertimbangan keamanan dan kekhawatiran akan terjadi lagi intimidasi lanjutan, lanjut Zaini Djalil, akhirnya kliennya memutuskan mencabut permohonan Praperadilan yang tinggal menunggu putusan hakim tersebut.
“Oleh karenanya atas berbagai pertimbangan maka kami mencabut permohonan Prapid menjelang putusan sebab dikhawatirkan intimidasi serupa dapat terjadi kembali. Oleh karenanya, kami meminta Kejati Aceh memberikan perlindungan terhadap klien kami,” harapnya.
Zaini Djalil menyampaikan, dalam proses Praperadilan yang sudah berlangsung beberapa hari di PN Lhokseumawe, terungkap sejumlah fakta janggal dalam penetapan kliennya sebagai tersangka.
“Dalam persidangan Prapid terbukti bahwa selama ini para tersangka ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan hanya melalui surat hasil ekspose kejaksaan semata. Padahal Undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi secara tegas menyatakan hanya BPK dan BPKP yang berhak merilis penghitungan kerugian negara, sehingga dalam hal ini Kejari Lhokseumawe telah melakukan tindakan abuse of power dan menyalahgunakan kewenangannya selaku penyidik,” ungkap Zaini Djalil.
“Bahkan fakta yang mengejutkan kami sampai dengan surat tugas audit berakhir 30 November, di hadapan majelis hakim disampaikan bahwa BPKP belum mengeluarkan hasil audit terhadap kerugian negara yang membuat kami bertanya-tanya kenapa klien kami jadi tersangka bila hasil auditnya tidak ditemukan? Sebab esensi dari Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Tipikor itu harus ada kerugian negara dan BPKP tidak pernah mengeluarkan hasil audit tersebut,” sebutnya.
Selanjutnya terkait tuduhan korupsi yang dialamatkan ke kliennya, Zaini menjelaskan, pemungutan pajak penerangan jalan sudah dilakukan oleh PLN selaku wajib pajak sejak lama dan untuk Lhokseumawe sejak tahun 2012, ada dasar hukumnya qanun dan MoU antara PLN dan Pemko Lhokseumawe dan tidak ada yang salah untuk itu.
Hak pungut atau sebutan lain insentif yang menurut jaksa tidak bisa diterima oleh para kliennya hanyalah berdasarkan asumsi, sebab insentif itu diperkenankan dan ada dasar hukumnya baik melalui Peraturan Pemerintah maupun aturan lainnya yang diatur di dalam peraturan perundang-undagan dan sudah dibahas melalui mekanisme anggaran, karena ada dalam Qanun APBK setiap tahunnya.
Jadi tidak benar seperti kata Kajari Lhokseumawe tidak dibahas dengan dewan.
“Sebagai informasi dan boleh dicek seluruh Indonesia praktiknya sama dan di Aceh untuk semua kabupaten/kota melaksanakan juga hal yang sama, maka pertanyaannya kenapa baru sekarang dan kenapa hanya klien kami yang dianggap salah?” kata Zaini.
“Di sisi lain bila kita mencermati qanun tentang PPJ Kota Lhokseumawe juga disebutkan siapa yang berhak menjadi penyidik dalam kasus ini adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Qanun Nomor 6 Tahun 2012 tentang PPJ sehingga jaksa dalam hal ini telah salah alamat menetapkan klien kami sebagai tersangka,” ujarnya.
“Oleh karenanya, kami masih mempertimbangkan untuk kembali mengajukan Praperadilan, dengan catatan pihak Kejari Lhokseumawe tidak melakukan intimidasi baik kepada klien kami maupun kepada BPKP dengan mendesak lembaga tersebut mengeluarkan hasil penghitungan kerugian negara dan kami meminta apabila nanti kami kembali mengajukan Praperadilan, silahkan awak media hadir saat persidangan agar terlihat faktanya memang Kejari Lhokseumawe cenderung menyalahgunakan kekuasannya,” bebernya.
“Kami kecewa dengan penegakan hukum yang tidak mengedepankan prinsip yang telah ditetapkan oleh hukum itu sendiri. Dapat dibayangkan orang yang belum terbukti bersalah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan tanpa didasari kerugian negara dan ini tidak tertutup kemungkinan akan terjadi pada pihak lainnya,” kata Zaini Djalil. (IA)