Justru soal hak siar ini menyimpan potensi kerugian keuangan negara akibat pembayaran harus dilakukan tanpa terlaksananya kegiatan akibat ketidakmampuan KIP Aceh.
“Menghentikan debat secara sepihak, jelas tidak punya dasar. alasan-alasan yang diungkap, terbaca tidak jujur.
Argumen-argumen yang dikedepankan juga berbasis kebohongan. Bukan Juknis dan ketentuan resmi pelaksanaan. Baik itu PKPU, Keputusan KPU nomor 1363/2024 ataupun Keputusan KIP Aceh nomor 33/2024.
Penjelasan resmi KIP kepada publik juga dinilai keliru, karena tidak faktual dan akhirnya terbantahkan seluruhnya.
“Bahkan merebak sinyalemen, kalau tindakan dan keputusan penting dalam pelaksanaan tahapan pilkada justru berangkat dari ‘permufakatan-permufakatan non formal’ dengan pihak-pihak tertentu di luar stakeholder resmi,” papar Teuku Alfian.
“KIP Aceh krisis dalam segala hal.
mereka berada di titik minus dan menjelma jadi “Predator Demokrasi” paling membahayakan saat ini.
Dugaan pelanggaran berat hampir sempurna di semua aspek, baik etika, mapun hukum. mereka tak berdaya dan tak berdaulat di wilayah otoritas mutlaknya sendiri,” sebutnya.
Jika kualitas dan kapasitas penyelenggara seperti yang sudah terlihat sekarang ini, sudah selayaknya KPU RI bersikap, memberhentikan seluruh komisioner untuk sementara, kemudian mengambil alih, demi kepentingan umum yang lebih besar, yaitu keselamatan peradaban Aceh,”
tutup Teuku Alfian.