BANDA ACEH — Universitas Syiah Kuala (USK) memberikan klarifikasi terkait berita yang berkembang bahwa perguruan tinggi ini memiliki utang sebesar Rp 13,9 miliar kepada pihak Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh.
Dekan Fakultas Kedokteran (FK) USK Prof Dr Maimun Syukri SpPD (K) menjelaskan, USK telah melakukan perjanjian kerja sama sejak lama dengan RSUDZA, yaitu terkait penggunaan RSUDZA sebagai Rumah Sakit Pendidikan Utama USK.
Dalam kesepakatan tersebut, ungkap Prof Maimun, kedua belah pihak sama sekali tidak membicarakan uang pendidikan. Persoalan biaya pendidikan ini baru menjadi masalah setelah keluar Peraturan Gubernur Aceh Nomor 57 Tahun 2013 tentang Tarif Jasa Pelayanan pada RSUDZA.
“Jadi terasa aneh, kenapa baru sekarang persoalan ini diangkat ke publik,” ucapnya, Jum’at (9/7).
Prof Maimun menegaskan, persoalan ini sudah tuntas setelah kedua belah pihak menerbitkan Laporan Kajian Piutang dan Tarif Pendidikan Praktek Mahasiswa pada tahun 2019. Laporan Kajian tersebut disusun secara bersama oleh tim yang berasal dari pihak USK dan RSUDZA.
Dalam laporan kajian tersebut, memang benar bahwa setelah keluar Pergub Nomor 57 tahun 2013 maka RSUDZA berkewajiban untuk mengutip seluruh biaya pelayanan kesehatan dan pendidikan sesuai tarif yang ditentukan.
Namun, karena sejak dari awal kedua belah pihak tidak membahas biaya pendidikan, maka terjadilah ketidaksesuaian prosedur biaya pendidikan sebesar Rp 3.148.236.000. Begitu pula besarnya biaya pendidikan dan praktek medis mahasiswa FK sejak tahun 2014-2017 senilai Rp 10.347.755.500.
Terkait biaya pendidikan ini, Prof Maimun menjelaskan, kedua belah pihak sepakat kewajiban USK untuk membayar biaya pendidikan itu telah dikoversikan dalam bentuk pemberian sarana, prasarana atau fasilitas penunjang kelancaran operasional di RSUDZA.
Hanya saja semua bantuan tersebut diberikan langsung melalui masing-masing bagian/staf medis fungsional (SMF) berupa honorarium, yang diberikan sesuai usulan masing-masing SMF tersebut.
“Karena bantuan ini diberikan secara langsung, maka itulah yang menyebabkan tidak terdata di bagian manajemen RSUDZA. Selain itu, semua fasilitas yang diberikan USK tidak terhitung sebagai aset RSUDZA,” jelas Prof Maimun.
Meskipun demikian, semua bantuan atau fasilitas yang telah USK berikan terdata dengan baik, dan rinciannya tertulis jelas dalam Laporan Kajian yang disusun secara bersama tersebut.
Bahkan berdasarkan laporan kajian ini, sebenarnya pihak RSUDZA punya kewajiban untuk membayar honorarium kepada mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) atas jasa mereka di rumah sakit tersebut.
“Tapi pihak RSUDZA tidak membayar kewajiban tersebut, jadi honor yang mereka dapat selama ini justru datangnya dari pusat,” ucap Prof Maimun.
Menaggapi persoalan ini, Kepala Humas USK Chairil Munawir menjelaskan, dirinya telah menelaah dengan baik persoalan ini setelah dalam beberapa hari ini menjadi perbincangan publik.
Menurutnya, ada banyak kekeliruan dalam pemberitaan tersebut. Hal ini dikarenakan dalam berita tersebut hanya mengutip satu poin saja dalam Laporan Kajian Piutang dan Tarif Pendidikan Praktek Mahasiswa ini. Bahkan satu poin tersebut tidak dikutip secara utuh.
“Saya kira hal semacam ini fatal sekali, sebab masyarakat bisa keliru memahami persoalan yang sebenarnya,” ujar Chairil.
Selain itu, Chairil menilai selama ini hubungan kerja sama USK dengan RSUDZA telah terjalin sangat baik dan memberi manfaat yang besar bagi masyarakat. Harus diakui, keberadaan mahasiswa FK USK di RSUDZA turut berperan penting dalam mendukung kelancaran pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut.
Untuk itulah, Chairil mengharapkan jangan sampai ada pihak-pihak yang sengaja membenturkan kedua intitusi ini. Sebab hal tersebut secara tak langsung akan mempengaruhi kualitas layanan kesehatan bagi masyarakat. (IA)