Wajar Saja Jika Istana Gerah Sama Jokowi & Bahlil, Nama Nusron Disebut
Infoaceh.net – Pengamat Politik dan peneliti dari Citra Institute Efriza membuka adanya kemungkinan pihak Istana-lah yang meracik skenario menggulirkan Musyawarah Nasional Luas Biasa atau Munaslub Partai Golkar, untuk menggulingkan Bahlil Lahadalia.Bahlil merupakan Ketum Golkar, yang juga Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Efriza menilai Bahlil masih menyandang status sebagai salah satu orang dekat presiden lama Joko Widodo alias Jokowi, yang masih bercokol di kabinet presiden baru Prabowo Subianto.
“Masuk akal jika ada skenario dari Presiden Prabowo, tetapi Presiden Prabowo tidak mungkin mencampuri langsung urusan partai-partai Politik (pendukung) lainnya,” kata Efriza kepada JPNN.com, Senin (4/8).
Namun, wajar skenario Munaslub itu muncul, sebagai salah satu alternatif untuk mulai menjaga jarak atau bahkan melepaskan diri dari bayang-bayang pengaruh Jokowi.
“Prabowo meski sudah menjadi presiden, tetap ada yang menganggap sebagai penerus Jokowi. Jadi, wajar juga andai Prabowo ingin menata ulang loyalitas politik di kabinet dan terhadap ketua umum partai yang dianggap loyalitasnya lemah terhadap dirinya,” ujarnya.
Efriza menyebut Prabowo berkepentingan membangun kepemimpinan yang mandiri dan mengontrol partai-partai pendukung pemerintah.
“Golkar salah satu pilar besar koalisi, tetapi dipimpin oleh tokoh yang secara politik lebih loyal kepada Jokowi. Mungkin Istana melihat ini menjadi hambatan dalam konsolidasi kekuasaan yang sedang dilakukan oleh Presiden Prabowo,” tuturnya.
“Jadi, mungkin pergantian kepemimpinan di tubuh Golkar melalui munaslub bisa merupakan bagian dari strategi untuk menyingkirkan figur-figur yang terlalu “Jokowi sentris” demi memastikan stabilitas dan kesetiaan politik terhadap Prabowo.”
“Apalagi dengan dukungan restu Istana, sekaligus dengan tokoh yang diwacanakan sebagai pengganti Bahlil ialah Nusron Wahid,” kata Efriza.
Dia menyebutkan memang memungkinkan isu munaslub didengungkan adanya “restu istana”, karena punya nilai keuntungan bagi penguasa.
“Isu tersebut seperti untuk memperkuat kendali kekuasaan, menyusun kembali barisan, menguatkan loyalitas, dan mengurangi potensi friksi dari warisan kekuatan presiden sebelumnya,” kata Efriza.