Wali Kota Banda Aceh, Aminullah Usman
Banda Aceh – Penertiban lahan dan pembongkaran bangunan belakang sebuah hotel di tanah seluas 112 M² oleh Pemko Banda Aceh yang dieksekusi petugas Satpol PP di Desa Geuceu Kayee Jato, Kecamatan Banda Raya, akhirnya berujung ke proses hukum.
Aris Maulana Siddiq, sebagai pemilik tanah dan bangunan hotel yang dibongkar tersebut, melaporkan Wali Kota Banda Aceh, Aminullah Usman ke Polda Aceh.
Pelaporan tersebut dilakukan Aris Maulana Siddiq bersama kuasa hukumnya Herni Hidayati ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Aceh dengan nomor LP/183/VII/YAN 2.5/2020, tanggal 1 Juli 2020.
Menurut pelapor, pembongkaran bangunan tangga dan beton yang ada di lahan hotel tersebut untuk pembangunan jalan pendestarian Krueng Daroy tersebut, dilakukan atas perintah Wali Kota Banda Aceh, tanpa adanya ganti rugi.
Sementara pengacara Pemko Banda Aceh, Aulia Rahman, Jum’at (3/7) menyatakan, kurang tepat pelaporan Wali Kota Banda Aceh ke Polda Aceh oleh Aris Maulana, terkait penertiban bangunan di bantaran Krueng Daroy tersebut.
Sebab, bangunan milik Aris Maulana yang dibongkar tim penertiban Pemko Banda Aceh berada di atas lahan milik Balai Wilayah Sungai Sumatera I (BWS S-I) yang telah diberi izin untuk pembangunan proyek pedestrian (riverwalk) program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku).
Menirit Aulia Rahman, laporan pengaduan yang diajukan oleh Aris Maulana ke Polda Aceh telah mengaitkan dua hal yang berbeda antara pribadi seseorang dan jabatan wali kota. “Sehingga tidak tepat dan jelas membuat perasaan hukum seseorang terlukai,” ujar Aulia Rahman
Dan penertiban yang dilakukan atas nama pemerintah kota atas hasil dari kajian teknis dari pihak terkait salah satunya dari BPN Banda Aceh yang menyatakan tanah tersebut merupakan tanah BWS.
“Sehingga segala keputusan dan kewenangan yang dikeluarkan adalah atas nama jabatan wali kota, bukan atas nama pribadi Aminullah Usman,” katanya.
Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Perkim) Kota Banda Aceh, Rosdi, ST menjelaskan penataan jalur pedestrian (river walk) bantaran Krueng Daroy, mulai jembatan Jalan Seulawah hingga Jembatan Seutui (belakang Hotel Rasamala) dengan dana APBN, dibawah tangungjawab Program KOTAKU Banda Aceh oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang penyiapan lahannya dilakukan oleh Pemko Banda Aceh, sudah dilakukan sesuai aturan berlaku.
“Dananya bersumber dari APBN 2019 senilai Rp 12,5 miliar dengan panjang penanganan 915 meter di sepanjang bantaran Krueng Daroy. Lahan yang digunakan untuk proyek tersebut merupakan milik Balai Wilayah Sungai Sumatera I (BWS S-I) dan milik masyarakat,” katanya.
Untuk lahan milik masyarakat, Pemko sudah membebaskan dengan mekanisme ganti rugi. “Sedangkan untuk lahan milik BWS kita telah mendapat izin penggunaannya dari BWS,” terang Rosdi.
Setelah mendapatkan izin penggunaan lahan BWS, pihaknya kemudian menyurati Badan Pertanahan Nasional (BPN) Banda Aceh untuk memetakan kembali sertifikat BWS S-I.
“Sekaligus untuk membuat tapal batas sesuai dengan sertifikat, mengingat banyak warga yang mendirikan bangunan di atas lahan negara tersebut,” ungkapnya.
Adapun permasalahan persil tanah milik Aris Maulana yang terkena dampak proyek berada di bagian belakang bangunan rumah/hotel yang dibatasi bibir tanggul. “Itu juga telah dipagari dan dibuat tangga langsung ke sungai oleh pemilik. Lalu bagian depan yang juga dibatasi oleh pagar pemilik,” ujarnya.
Sementara hasil penentuan tapal batas/pematokan yang dilakukan BPN, bagian belakang bangunan rumah/hotel itu merupakan milik negara sesuai dengan sertifikat.
Untuk itu Pemko Banda Aceh telah menyurati yang bersangkutan agar membongkar sendiri bangunan atau pagar yang berdiri di atas tanah negara tersebut dengan batas waktu selama tujuh hari.
Dikarenakan tidak ada respons pada surat pertama, pihaknya, kata Rosdi, melayangkan surat kedua sesuai ketentuan berlaku, tapi juga tidak diindahkan hingga akhirnya terpaksa dilakukan pembongkaran.
“Selain itu, pembuatan tangga di bagian tanggul sungai sudah menyalahi daerah sepadan sungai, yang dapat membahayakan pada saat banjir dikarenakan tanggul tidak dapat berfungsi dengan semestinya,” terangnya.
Selanjutnya Rosdi menjelaskan duduk perkara sengketa lahan dimaksud berdasarkan surat balasan Badan Pertanahan Banda Aceh kepada kuasa hukum Aris Maulana.
“Pada 2 Juni 2020, kuasa hukum yang bersangkutan mengajukan permohonan pengukuran ulang dan investigasi atas sertifikat hak milik (SHM) nomor 27 tahun 1974”
“Dan berdasarkan permohonan tersebut, BPN Banda Aceh melakukan pencatatan pemotongan luas di surat ukur dan sertifikat hak atas tanah seluas 133 meter persegi,” katanya lagi.
Sehubungan dengan Program Kotaku di atas tanah hak pakai atas nama Departemen Pekerjaan Umum yang sekarang menjadi Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera I, yang mencakup lokasi di area belakang tanah milik Aris Maulana, BWS melalui Wali Kota Banda Aceh mengajukan permohonan pengembalian batas atas sertifikat hak pakai tersebut.
“Dari hasil pengukuran didapati, sebagian tanah hak pakai nomor 35 seluas 112 meter persegi masuk ke dalam bagian SHM nomor 5 yang belum dilakukan pelepasan hak pemegang hak asal,” jelas Rosdi.
Kesimpulannya, tanah yang dibeli oleh Aris Maulana berdasar akta jual beli nomor 20 tahun 2018 masih terdapat sebagian hak pakai atas nama BWS Sumatera I seluas 112 meter persegi hasil pengadaan tanah untuk pelebaran sungai yang belum dilakukan pelepasan oleh pemegang hak pertama.
“112 meter persegi tanah tersebut adalah aset negara, dan data peta pengembalian batas yang telah dilakukan adalah final dan sesuai dengan Sertifikat Hak Pakai nomor 35 dengan nomor ukur 198 tahun 1992,” demikian sebut Rosdi. [IA]