“Perang dan persatuan di antara rakyat telah menciptakan kesempatan untuk mengubah pandangan kita tentang tata kelola dan perilaku pejabat kita,” kata Pezeshkian kepada kabinetnya, menurut laporan rapat yang dirilis oleh kantor presiden.
“Ini adalah kesempatan emas untuk perubahan,” lanjutnya.
Di sisi lain, faksi konservatif rival, yang dipimpin oleh politisi Saeed Jalili, secara terbuka mengkritik Presiden dan Menteri Luar Negerinya.
Mereka mempertanyakan legitimasi apa yang membuat Iran untuk mengambil langkah “gencatan senjata mengejutkan”.
Faksi konservatif itu juga mengecam kembalinya negosiasi nuklir dengan Amerika Serikat.
Foad Izadi, seorang analis politik konservatif yang dekat dengan Jalili dan Garda Revolusi, dalam sebuah unggahan media sosial mengatakan upaya Pezeshkian untuk bernegosiasi bersama AS memberi kesan kalau Presiden Iran saat ini tidak memiliki kompetensi politik yang diperlukan untuk memerintah negara.
Menanggapi unggahan Izadi, Ali Ahmadnia, kepala komunikasi Presiden, membalas dalam sebuah unggahan media sosial, mengutuk kritik yang dilancarkan kaum konservatif terhadap Presiden dan Menteri Luar Negerinya.
“Kita tidak seharusnya melawan Israel siang dan malam selama 12 hari dan sekarang berurusan dengan orang-orang seperti kalian! Yang sibuk menyelesaikan teka-teki musuh dengan pena kalian,” tulisnya.
Ketidakhadiran Pemimpin Tertinggi Khamenei telah memicu perebutan kekuasaan politik di Iran, yang terbagi antara dua kelompok utama dengan pandangan berbeda mengenai masa depan negara, terutama terkait program nuklir dan hubungan internasional.
Beberapa mendukung pendekatan diplomatik Pezeshkian, sementara yang lain menganjurkan sikap yang lebih agresif, terutama terkait ambisi nuklir Iran.
Terlepas dari perbedaan faksi-faksi ini, Menlu Luar Negeri Abbas Aragchi dan Mohammad Eslami tetap berkomitmen untuk melanjutkan dan menghidupkan kembali program nuklir dan pengayaan uranium Iran yang mengalami kemunduran baru-baru ini.