Pertama, ancaman terhadap kebebasan Pers; dimana terdapat pasal-pasal bermasalah dalam revisi ini memberikan wewenang berlebihan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), untuk mengatur konten media, yang dapat mengarah pada penyensoran dan pembungkaman kritik terhadap pemerintah dan pihak-pihak berkepentingan, seperti termuat pada draf pasal 8A huruf q, pasal 50B huruf c dan pasal 42 ayat 2.
Kedua, kebebasan berekspresi terancam; ketentuan yang mengatur tentang pengawasan konten tidak hanya membatasi ruang gerak media, tetapi juga mengancam kebebasan berekspresi warga negara, melalui rancangan sejumlah pasal yang berpotensi mengekang kebebasan berekspresi.
Ketiga, kriminalisasi jurnalis; adanya ancaman pidana bagi jurnalis yang melaporkan berita yang dianggap kontroversial merupakan bentuk kriminalisasi terhadap profesi jurnalis.
Keempat, Independensi Media terancam; revisi ini dapat digunakan untuk menekan media agar berpihak kepada pihak-pihak tertentu, yang merusak independensi media dan keberimbangan pemberitaan, seperti termuat dalam draf pasal 51E.P.
Kelima, Revisi UU Penyiaran berpotensi mengancam keberlangsungan lapangan kerja bagi pekerja kreatif, munculnya pasal bermasalah yang mengekang kebebasan berekspresi berpotensi akan menghilangkan lapangan kerja pekerja kreatif, seperti tim konten Youtube, podcast, pegiat media sosial dan lain sebagainya.
“Kami minta DPRK Lamgsa mengeluarkan pernyataan resmi yang menyatakan menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Penyiaran dan mengirimkan pernyataan tersebut ke DPR RI,” sergah Putra Zulfirman.
Sedangkan, Ketua DPRK Langsa, Maimul Mahdi menyatakan pihaknya siap meneruskan aspirasi yang disampaikan pekerja pers.
“Kami siap sebagai wakil rakyat meneruskan aspirasi ini. Tentu kita tidak ingin kebebasan pers dibelenggu,” tandas politisi Partai Aceh ini. (MZA)
Editor:
Muhammad Saman