Dr. Nurkhalis Mukhtar,Lc,MA
Banyak yang mengira bahwa tingkat kebahagiaan seseorang adalah harta yang melimpah ruah, kedudukan yang tinggi, uang yang banyak, dan berbagai macam pandangan lainnya. Namun setelah harta bertambah banyak, kedudukan bertambah tinggi, ia pun belum meraih kebahagiaan yang dicarinya. Padahal kebahagiaan begitu dekat, berada dalam diri kita, tempatnya di dalam lubuk hati. Dia tidak perlu dicari kemana-mana, karena ia telah ada dalam diri tiap manusia yang disebut dengan hati.
Tugas manusia sebagai makhluk yang dianugerahi oleh Allah segumpal hati ialah menjaga, menata hati dan melindunginya dari berbagai penyakit yang bisa mengeruhkan kebeningan hati. Hati yang bening merupakan lentera yang menyinari seseorang dalam meniti kehidupan agar selamat dan sentosa ketika berjumpa dengan Allah Swt. Karena hamba yang beruntung ialah hamba yang mampu meraih ridha dan kasih sayang Allah dengan hati yang selalu tentram.
Kemampuan hamba mampu menata hatinya dengan baik, bermakna telah memiliki satu tiket untuk mendapat tempat yang mulia di sisi Allah Swt. Bagi hamba tersebut hidup di dunia merupakan ladang untuk menanam berbagai macam kebaikan agar bisa dinikmai kelak di akhirat. Ia melihat dunia dengan pandangan yang bijak yaitu dengan menyiapkan bekal ketaqwaan dan segala kebaikan demi menempuh hidup yang kekal dan abadi. Karena kelak di hari akhirat, tidak bermanfaat sama sekali harta, anak-anak yang dibangga-banggakan, kecuali yang bermanfaat adalah qalbun salim/hati yang sejahtera.
Para ilmuan Islam membagi hati manusia ke dalam tiga tingkatan, pertama, qalbun mayyit/hati yang mati. Hati yang mati adalah hati yang tidak memiliki kebaikan di dalamnya. Kedua, qalbun maridh yaitu hati yang masih memiliki potensi baik, hati model ini yang umumnya dimiliki manusia. Ketiga, qalbun salim adalah hati yang bening dan mampu menangkap setiap pesan-pesan Tuhan yang bertebaran di semesta.
Berbagai cara dilakukan para ahli untuk mengupas cara agar bisa sampai ke hati yang sehat dan bening atau qalbun salim tentu dengan mengetahui berbagai penyakit yang mengeruhkan hati. Penyakit-penyakit hati telah dibahas secara panjang lebar oleh para ulama dalam banyak karya mereka, sebut saja misalnya Imam al-Ghazali dalam karyanya Ihya’ Ulumuddin, Imam Ibnu ‘Ataillah as-Saqandari dalam karyanya al-Hikam, Imam Ibnu Rajab dalam karyanya Jami’ Ulum wal Hikam, Syekh Abdussamad al-Palimbani dalam Hidayatussalikin dan Sirus Salikin, Buya Hamka dalam Tasauf Modernnya, serta ratusan karya lainnya yang telah ditulis para ulama kita tempo dulu.
Dalam kajian para ulama tasawuf dapat disimpulkan bahwa penyebab yang mengotori kebeningan hati bahkan merusaknya bermuara pada empat hal besar yang sangat mempengaruhinya. Empat hal tersebut bila dijelaskan secara lebih luas akan menjadi sepuluh macam penyakit yang umumnya dijelaskan dan dikupas dalam banyak karya para ulama ahli tasawuf. Empat hal yang dapat dijelaskan merupakan pintu gerbang masuknya berbagai penyakit yang merusak dan mengganggu kebeningan hati. Di antara empat hal itu adalah: banyak berbicara yang tidak penting, banyak melihat nikmat yang dimiliki orang lain, banyak makan, dan banyak interaksi yang tidak penting.
Obat mujarab untuk menjernihkan hati adalah: Membaca Al-Qur’an, berzikir, istighfar, berdoa, berselawat kepada Rasulullah Saw dan berbagai hal positif lainnya. Terakhir untuk menata hati khusus di Bulan Ramadhan adalah dengan mendirikan malam Bulan Ramadhan. Karena hal pertama yang Rasulullah ucapkan ketika beliau sampai di Madinah adalah mendirikan malam ketika manusia sedang terlelap. Sungguh karunia Allah begitu dekat dengan para hamba yang mau mendirikan malam. Hati yang kotor bisa dibersihkan dengan mendirikan ibadah di malam hari. Malam merupakan kereta terbaik seseorang untuk menuju kepada Tuhannya dalam keadaan damai. Apalagi di Bulan Ramadhan yang banyak hadits menerangkan keutamaan mendirikan Ramadhan yaitu ampunan dan surga Allah Swt.
Kiat-kiat yang telah disebutkan di atas merupakan teori normatif yang membutuhkan aplikasi dari individu muslim dalam tatanan kehidupan sehari-hari. Jika mampu menerapkan resep-resep tersebut, maka anugerah hati yang tertata dan bening akan hadir menghampiri. Kebeningan hati merupakan harapan kita semua. Hanya dengan hati yang bening kita mampu menghadapi berbagai persoalan dan perbedaan yang terjadi dalam beragama dan bernegara. Sebesar apapun persoalan yang dihadapi tidak akan mampu menggoyahkan umat Islam, jika umat Islam mampu mengedepankan kebeningan hati dalam melihat persoalan yang di hadapi.**
Penulis:
Ketua STAI al-Washliyah Banda Aceh,
Pengasuh Pengajian Rutin TAFITAS Aceh,
Penulis buku Membumikan Fatwa Ulama.



