Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah memberikan hormat kepada Anggota DPRA saat menghadiri lanjutan rapat paripurna interpelasi di Gedung DPRA, Selasa (29/9)
Banda Aceh — Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) memastikan menolak seluruh jawaban interpelasi dari Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Nova Iriansyah.
Penolakan itu disampaikan dalam Pandangan DPR Aceh terhadap jawaban Hak Interpelasi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dalam Rapat Paripurna di Gedung Utama DPRA, Selasa (29/9) siang.
Sidang paripurna DPRA dengan agenda Lanjutan Rapat Paripurna DPR Aceh dalam rangka Penyampaian Jawaban/Tanggapan Gubernur Aceh terhadap Penggunaan Hak Interpalasi DPR Aceh, yang dipimpin Ketua DPRA, Dahlan Jamaluddin itu, turut dihadiri langsung oleh Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah.
Juru Bicara Penggunaan Hak Interpelasi DPR Aceh, Irpannusir Rasman dalam pandangannya menyampaikan lima kesimpulan dari jawaban interpelasi yang dibacakan Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah pada 25 September 2020.
Pertama, Pemerintah Aceh sangatlah tidak profesional dalam menjawab pertanyaan interpelasi yang diajukan oleh anggota DPRA, karena ada beberapa pertanyaan yang sengaja tidak dijawab.
Kedua, Pemerintah Aceh tidak sistematis dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan, bahkan jawaban tersebut tidak berurutan sebagaimana mestinya bahkan jauh dari subtansi persoalan yang dipertanyakan dalam interpelasi.
Ketiga, jawaban Plt. Gubernur Aceh terhadap hak interpelasi DPR Aceh ditemukan pelanggaran berupa tidak melaksanakan kewajiban sebagai Gubernur, mengingkari sumpah jabatan, dan melanggar larangan bagi Gubernur dan Wakil Gubernur serta melanggar etika pemerintahan.
Keempat, DPR Aceh menolak seluruh Jawaban/Tanggapan Plt. Gubernur Aceh atas Hak Interpelasi yang diajukan.
Kelima, berdasarkan hal tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh akan menggunakan haknya lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Kami mengharapkan kepada Pimpinan DPR Aceh agar dapat menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Irpannusir Rasman yang berasal dari Fraksi PAN ini.
Irpannusir menyebutkan, terkait jawaban Plt. Gubernur terhadap proyek multiyears, bahwa MoU multiyears yang dibuat oleh Pimpinan DPR Aceh periode 2014-2019 tidak sesuai dengan prosedur yang ditentukan dalam Pasal 92 ayat (3) dan (4) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan daerah jo.
Pasal 54 A ayat (3) dan (4) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
“Adanya cacat hukum dalam MoU multiyears tersebut karena tidak disepakati oleh DPR Aceh secara kelembagaan dalam Rapat Paripurna DPR Aceh,” terangnya.
Ia menambahkan, terkait Proyek multiyears hal ini sejak awal penyusunan APBA Tahun Anggaran 2020 usulan ini telah dua kali ditolak oleh Komisi IV DPR Aceh melalui surat Komisi IV DPR Aceh Nomor 86/KOMISI IV/IX/2019 tanggal 10 September 2019 dan Surat Nomor 26/KOMISI IV/III/2020.
Melalui hasil kajiannya, Komisi IV merasa ada hal-hal yang perlu dikaji kembali termasuk ada mekanisme ketentuan perundang-undangan yang belum dipenuhi. Namun eksekutif tetap memaksakan masuknya proyek tersebut.
Proyek multiyears ini tidak pernah ada dalam pembahasan APBA 2020, proyek ini masuk secara tiba-tiba pada akhir pengesahan, hanya dengan kesepakatan antara Pemerintah Aceh dengan para Pimpinan DPR Aceh saat itu tanpa melalui persetujuan seluruh Anggota DPR Aceh dalam rapat paripurna.
“Kami menduga proyek ini adalah penumpang gelap APBA 2020.
Bahwa faktanya penandatanganan MoU Proyek multiyears tidak dilakukan bersamaan dengan penandatanganan kesepakatan bersama KUA PPAS Tahun Anggaran 2020 pada tanggal 10 September 2019 , meskipun didalam dokumen MoU tersebut tercantum tanggal 10 September 2019,” bebernya.
“Kami dapat menjelaskan bahwa proyek multiyears bukanlah rezim hukum keperdataan sebagaimana diatur Pasal 1320 KUH Perdata, melainkan masuk dalam rezim hukum administrasi negara,” sebutnya.
Berdasarkan hal tersebut, maka sesuai dengan asas contrarius actus, DPR Aceh dapat membatalkan MoU multiyears itu. Pada prinsipnya DPR Aceh memiliki itikad baik untuk mengoreksi kesalahan prosedur diatas dengan meminta Pemerintah Aceh untuk melakukan perubahan APBA Tahun Anggaran 2020 tetapi kenyataannya Pemerintah Aceh menutup ruang terhadap perubahan tersebut. (IA)



