INFOACEH.netINFOACEH.netINFOACEH.net
  • Beranda
  • Aceh
  • Nasional
  • Dunia
  • Umum
  • Ulama Aceh
  • Syariah
  • Politik
  • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Opini
  • Olahraga
  • Hukum
  • Gaya Hidup
Cari Berita
© 2025 PT. INFO ACEH NET. All Rights Reserved.
Font ResizerAa
Font ResizerAa
INFOACEH.netINFOACEH.net
Cari Berita
  • Beranda
  • Aceh
  • Nasional
  • Luar Negeri
  • Umum
  • Biografi Ulama Aceh
  • Syariah
  • Politik
  • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Opini
  • Olahraga
  • Hukum
  • Kesehatan & Gaya Hidup
Follow US
© 2025 PT. INFO ACEH NET. All Rights Reserved.
Opini

Rakyat Mengencangkan Ikat Pinggang, DPR Menambah Tunjangan

Last updated: Sabtu, 30 Agustus 2025 23:03 WIB
By Redaksi
Share
Lama Bacaan 5 Menit
SHARE

Oleh: Raihan Putri SIP

Di tengah situasi ekonomi yang penuh keterbatasan, publik kembali disuguhi tontonan ironi dari Senayan. Kenaikan tunjangan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan nominal yang bisa menembus lebih dari Rp100 juta per bulan menjadi penegasan betapa jauh jurang antara elit politik dan rakyat yang diwakilinya.

Drs. Isa Alima, pemerhati komunikasi publik
Kejahatan Komunikasi: Ketika Ucapan Pejabat Jadi Sumber Api

Rakyat sedang mengencangkan ikat pinggang, namun para wakilnya justru menambah lubang baru untuk kemewahan.

- ADVERTISEMENT -

Dalam logika demokrasi representatif, kebijakan ini bukan sekadar soal angka, melainkan cermin dari orientasi politik yang bergeser dari semangat kerakyatan menuju pragmatisme elit.

Tunjangan rumah senilai Rp50 juta per bulan sebagai pengganti rumah dinas, ditambah beragam fasilitas lain mulai dari tunjangan jabatan, komunikasi intensif, hingga kehormatan, seolah menjadi katalog kemewahan yang didanai dari keringat rakyat pembayar pajak.

- ADVERTISEMENT -
Dr (cand) Yohandes Rabiqy, SE., MM
Aceh Kaya Energi, Tapi Miskin Otoritas

Pemerintah dan DPR saling lempar tanggung jawab. Kementerian Keuangan menyarankan publik bertanya ke Senayan, sementara sebagian anggota DPR berdalih kebijakan datang dari Menteri Keuangan.

Sikap saling menghindar ini memperlihatkan defisit akuntabilitas. Di tengah inflasi pangan, pengangguran yang belum pulih, serta akses pendidikan dan kesehatan yang timpang, keputusan menambah tunjangan terasa seperti satire yang ditulis oleh negara terhadap rakyatnya sendiri.

Jika memakai kerangka teori legitimasi politik yang dikemukakan David Beetham, kekuasaan hanya sah ketika memenuhi tiga syarat yaitu adanya aturan yang berlaku, norma yang diyakini publik, dan persetujuan rakyat.

Riza Syahputra
Fobia Terbesar Pejabat Indonesia: Bukan Neraka, Tapi Kehilangan Jabatan

Tunjangan jumbo ini memang mungkin sah secara aturan, tetapi jelas merusak norma keadilan sosial dan menurunkan persetujuan publik.

- ADVERTISEMENT -

Demonstrasi yang meletup di depan gedung DPR adalah indikator nyata dari erosi legitimasi tersebut. Jalanan dipenuhi suara rakyat yang menolak privilese legislatif, sebuah resistensi terhadap politik oligarkis yang semakin menancap di tubuh demokrasi Indonesia.

Kebijakan tunjangan ini juga menambah beban psikologis rakyat yang sedang dilanda kebijakan efisiensi anggaran.

Dalam kerangka teori distribusi fiskal, publik berhak menuntut transparansi. Pertanyaan sederhana tentang “dari mana anggaran itu berasal” tak pernah dijawab tuntas.

Sementara itu, subsidi energi dikurangi, bantuan sosial sering kali tersendat, dan pajak dinaikkan. Dengan kata lain, negara mendorong rakyat ke jurang pengorbanan, sementara elit justru memanjakan diri dengan payung anggaran.

Sejarah politik Indonesia menunjukkan, ketidakpekaan elit terhadap derita rakyat kerap menjadi pemicu turbulensi sosial.

Reformasi 1998 meletup bukan hanya karena krisis moneter, melainkan juga karena rakyat muak melihat kongkalikong kekuasaan dan kekayaan elit yang tak tersentuh.

Kini, ketika aparat justru menanggapi protes rakyat dengan kekerasan yang berujung korban jiwa, kita seakan ditarik kembali ke masa kelam di mana suara kritis dibungkam dengan peluru.

Negara bukan hanya abai, melainkan juga mempertontonkan paradoks dimana menuntut rakyat tunduk pada hukum, sementara wakil rakyat dan elit bebas melanggar etika keadilan sosial.

Ironi semakin menohok jika kita membaca data. Badan Pusat Statistik mencatat tingkat kemiskinan per Maret 2025 masih di atas 9 persen, dengan jutaan orang hidup di bawah garis kemiskinan.

Angka pengangguran terbuka berkisar 5-6 persen, dan harga beras yang terus merangkak naik membuat daya beli masyarakat makin tertekan.

Sementara itu, satu anggota DPR bisa menerima tunjangan rumah setara biaya hidup tahunan ratusan keluarga miskin. Jika demokrasi memang lahir untuk menyejahterakan rakyat, sulit mencari justifikasi moral di balik keputusan ini.

Dalam literatur politik kontemporer, para ilmuwan seperti Larry Diamond menekankan bahwa demokrasi hanya bisa bertahan ketika ada public trust. Kepercayaan publik adalah modal utama.

Namun di Indonesia, modal ini terus tergerus oleh tindakan elit yang lebih sibuk memperjuangkan privilege ketimbang amanah. Krisis kepercayaan ini berbahaya.

Ia bisa melahirkan sinisme politik, apatisme elektoral, hingga radikalisasi. Demokrasi tanpa kepercayaan publik hanya akan jadi ritual prosedural tanpa substansi.

Pemerintah dan DPR seharusnya memahami bahwa legitimasi tak bisa dibeli dengan angka-angka dalam anggaran. Transparansi bukan sekadar formalitas, melainkan kewajiban moral.

Jika benar ingin menjaga demokrasi tetap hidup, seharusnya setiap kebijakan anggaran, termasuk tunjangan DPR melibatkan partisipasi publik, dibahas terbuka, dan disesuaikan dengan kondisi fiskal negara.

Tanpa itu semua, parlemen hanya akan menjadi panggung oligarki, bukan rumah rakyat.

Pada akhirnya, persoalan tunjangan DPR bukan hanya perihal uang, melainkan cermin hubungan yang retak antara rakyat dan wakilnya.

Demokrasi yang seharusnya menjadi jembatan justru berubah menjadi tembok pemisah. Rakyat kian sengsara, elit kian sejahtera.

Jika kondisi ini dibiarkan, maka kita sedang menyaksikan demokrasi yang kehilangan rohnya, berganti dengan aristokrasi baru yang bersandar pada legitimasi semu.

Dan ketika rakyat sudah kehilangan kepercayaan, sejarah sering membuktikan bahwa tembok sebesar apa pun tak akan mampu menahan gelombang kemarahan yang datang dari bawah.

• Penulis adalah Alumni Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala

Previous Article Rumah Bendahara Umum Partai NasDem Ahmad Sahroni di Jakarta Utara dijarah berbagai orang. Pantauan IDN Times, hal ini masih berlangsung hingga pukul 18.30 WIB. Rumah Sahroni Masih Dijarah Massa, Tesla dan Prosche Dipreteli
Next Article Rumah meewah milik politisi Partai NasDem yang terletak di gang sempit kawasan Swasembada, Tanjung Priok, Jakarta Utara, hancur di tangan ribuan massa yang tak lagi bisa menahan amarah. Massa Mengamuk, Pakaian Dalam Istri Sahroni Dilempar dari Lantai 2

Populer

Umum
Listrik Padam Total, Aceh Gelap Gulita: Sistem Transmisi Kembali Alami Gangguan
Sabtu, 15 November 2025
Viral Link Video Andini Permata dan Bocil Bikin Heboh Warganet
Umum
Misteri Video Andini Permata dan ‘Bocil’: Viral Tanpa Identitas, Netizen Dibohongi?
Minggu, 6 Juli 2025
Viral Link Video Syakirah Versi Terbaru Berdurasi 16 Menit Beredar di X dan TikTok
Umum
Viral Link Video Syakirah Versi Terbaru Berdurasi 16 Menit Beredar di X dan TikTok
Rabu, 28 Mei 2025
Aceh
Tgk Muhammad Yunus Terpilih sebagai Ketua Badan Baitul Mal Aceh
Sabtu, 15 November 2025
Jabatan GM UID Aceh resmi dijabat Eddi Saputra, menggantikan Mundhakir yang menempati posisi baru sebagai GM PLN UID Sumut. (Foto: Ist)
Ekonomi
Eddi Saputra Jabat GM PLN Aceh, Mudhakir Jadi GM PLN UID Sumut
Jumat, 7 November 2025

Paling Dikomentari

Wakil Gubernur Aceh Fadhlullah atau Dek Fad saat melepas pelari bercelana pendek di event olahraga FKIJK Aceh Run 2025 yang digelar di lapangan Blang Padang Banda Aceh, Ahad pagi (11/5). (Foto: Dok. Infoaceh.net)
Olahraga

Tanpa Peduli Melanggar Syariat, Wagub Fadhlullah Lepas Pelari Bercelana Pendek di FKIJK Aceh Run

Sabtu, 11 Oktober 2025
Anggota Komisi III DPR RI asal Aceh, M Nasir Djamil
Aceh

Komisi III DPR RI Minta Polisi Tangkap Gubsu Bobby Terkait Razia Mobil Plat Aceh

Minggu, 28 September 2025
UMKM binaan BRI sukses ekspansi pasar Internasional
Ekonomi

Negara Diam, UMKM Digasak Shopee-Tokopedia-TikTok

Jumat, 25 Juli 2025
Anggun Rena Aulia
Kesehatan & Gaya Hidup

Serba Cepat, Serba Candu: Dunia Baru Gen Z di Media Sosial

Minggu, 19 Oktober 2025
Fenomena penggunaan jasa joki akademik di kalangan dosen untuk meraih gelar profesor mulai menjadi sorotan di Aceh. (Foto: Ilustrasi)
Pendidikan

Fenomena Joki Profesor di Aceh: Ancaman Serius bagi Marwah Akademik

Jumat, 12 September 2025
FacebookLike
XFollow
PinterestPin
InstagramFollow
YoutubeSubscribe
TiktokFollow
TelegramFollow
WhatsAppFollow
ThreadsFollow
BlueskyFollow
RSS FeedFollow
IKLAN HARI PAHLAWAN PEMKO
IKLAN PEMKO SABANG SUMPAH PEMUDA
IKLAN BANK ACEH HARI SANTRI
IKLAN DJP OKTOBER 2025

Berita Lainnya

dr. Suzanna Octiva SpKJ
Opini

Ketika Penjaga Kesehatan Aceh Bertahan Tanpa Kepastian

Rabu, 12 November 2025
Opini

Prabowo Perlu Belajar dari Sultan Iskandar Muda

Senin, 10 November 2025
Opini

Hukum yang Lupa pada Nurani

Sabtu, 8 November 2025
Dr (cand) Yohandes Rabiqy, SE., MM
Opini

Rotasi Pejabat, Stagnasi Abadi: BPKS Sabang Masih Berputar di Lingkaran Gagal

Kamis, 6 November 2025
Mirza Ferdian
Opini

Ketika Wakil Bupati Memukul, Etika Pemerintahan Tumbang

Sabtu, 1 November 2025
Delky Nofrizal Qutni
Opini

Menembus Geureutee, Menyingkap Geopolitik Sumber Daya Mineral Aceh

Jumat, 31 Oktober 2025
Mahmud Padang
Opini

Menanti KPK Basmi Agen Izin Usaha Peubloe (IUP) Nanggroe di Bumi Serambi Mekkah

Jumat, 31 Oktober 2025
Riza Syahputra
Opini

Semua Orang Adalah Pelayan, Cuma Beda Siapa yang Dilayani

Kamis, 30 Oktober 2025
TAMPILKAN LAINNYA
INFOACEH.netINFOACEH.net
Follow US
© 2025 PT. INFO ACEH NET. All Right Reserved.
Developed by PT. Harian Aceh Indonesia
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Disclaimer
Logo Info Aceh
Selamat datang di Website INFOACEH.net
Username atau Email Address
Password

Lupa password?