Oleh: Muhammad Saman
TEPAT 25 September 2025, genap 100 tahun kelahiran Dr. Teungku Hasan Muhammad di Tiro, sosok yang namanya tak pernah berhenti diperdebatkan dalam sejarah Indonesia.
Ia adalah pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM), deklarator kemerdekaan Aceh, sekaligus figur yang mengubah arah politik Tanah Rencong: dari perlawanan berdarah puluhan tahun sejak tahun 1976 hingga berakhir dengan jalan damai pada tahun 2005.
Bagi sebagian orang, Hasan Tiro adalah pemberontak yang menantang kedaulatan negara Indonesia.
Namun bagi banyak orang Aceh, ia adalah pejuang yang konsisten mempertahankan martabat bangsanya.
Seratus tahun sejak kelahirannya, jejak Hasan Tiro tetap membelah sejarah: antara konflik dan rekonsiliasi, antara stigma dan penghormatan.
Dari Darah Perlawanan ke Dunia Akademik
Hasan Tiro lahir di Gampong Tanjong Bungong, Pidie, 25 September 1925. Ia tumbuh dalam keluarga besar ulama pejuang.
Ayahnya, Leube Muhammad, seorang ulama terpandang. Ibunya, Cut Fatimah Tiro, adalah cucu dari Teungku Mahyuddin, anak dari pahlawan nasional Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman.
Dari jalur ibunya pula, Hasan Tiro masih berkerabat dengan Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar.
Dengan latar keluarga seperti itu, darah perjuangan seakan mengalir deras dalam dirinya.
Selepas menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Islam Yogyakarta, Hasan Tiro berangkat ke Amerika Serikat. Ia belajar di Universitas Columbia, New York, sembari bekerja di Misi Indonesia untuk PBB.
Namun, pengalaman di luar negeri justru membuatnya semakin kritis terhadap arah politik Indonesia.
Pada 1953, ia mendeklarasikan diri sebagai “Menteri Luar Negeri Darul Islam”, mendukung gerakan Tgk. Daud Beureueh di Aceh. Pemerintah Indonesia murka. Kewarganegaraannya dicabut, dan ia sempat ditahan di Ellis Island sebagai imigran ilegal.
Deklarasi GAM: Aceh Bukan Indonesia
Puncak perlawanan Hasan Tiro terjadi pada 4 Desember 1976. Di Gunung Halimun, Tangse, Pidie, ia mendeklarasikan berdirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Dalam deklarasi itu, ia menolak konsep Aceh hanya diberi status otonomi. Baginya, Aceh adalah bangsa merdeka sebelum kolonialisme Belanda, sehingga berhak berdiri sendiri.
Indonesia, menurut Hasan Tiro, hanyalah konstruksi buatan Belanda yang menyatukan bangsa-bangsa berbeda tanpa dasar sejarah yang kokoh.
“Bangsa Aceh harus kembali kepada statusnya sebelum dijajah,” demikian garis besar pernyataannya kala itu.
GAM pun mengangkat senjata. Targetnya bukan hanya aparat militer dan polisi Indonesia, tetapi juga para transmigran yang dianggap bagian dari strategi negara menguasai tanah Aceh. Konflik bersenjata pun pecah, membawa luka panjang dan darah yang tak sedikit.
Buronan Militer dan Pengasingan di Swedia
Tak lama setelah deklarasi, Hasan Tiro diburu militer Indonesia. Pada 1977 ia tertembak di kaki dalam sebuah penyergapan, lalu melarikan diri ke Malaysia. Sejak 1980, ia memilih menetap di Stockholm, Swedia, hingga memperoleh kewarganegaraan negara itu.
Dari pengasingan, ia tetap memimpin GAM. Para pengikutnya di Aceh menjadikannya simbol perjuangan. Sementara itu, ia menggalang dukungan internasional, memanfaatkan jaringan diaspora Aceh.
Tokoh-tokoh GAM yang kelak menjadi pemimpin Aceh pascaperdamaian, seperti Malik Mahmud dan Zaini Abdullah, merupakan orang-orang yang dekat dengannya selama di Swedia.
Namun, bagi pemerintah Indonesia, Hasan Tiro tetap sosok berbahaya. Bahkan beberapa kali pemerintah keliru mengumumkan kematiannya, padahal ia masih hidup di pengasingan.
Dari Tsunami ke Damai Helsinki
Gelombang tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 menjadi titik balik sejarah. Bencana dahsyat yang menewaskan lebih dari 170 ribu orang itu meluluhkan sekat permusuhan.
GAM dan pemerintah Indonesia sepakat membuka perundingan. Pada 15 Agustus 2005, keduanya menandatangani Perjanjian Damai Helsinki.
GAM setuju melucuti senjata, sementara pemerintah memberi Aceh otonomi luas, hak membentuk partai lokal, serta pengakuan atas identitas keistimewaan Aceh.
Meski sakit-sakitan, Hasan Tiro menyetujui kesepakatan itu. Dari Stockholm, ia merestui lahirnya jalan damai setelah puluhan tahun pertempuran.
Pulang dan Berakhir di Tanah Kelahiran
Setelah lebih dari tiga dekade di pengasingan, Hasan Tiro kembali ke Aceh pada Oktober 2008. Kepulangannya disambut dengan haru, meski ia dalam kondisi lemah dan tak lagi aktif berpolitik.
Pada 2 Juni 2010, pemerintah Indonesia resmi mengembalikan kewarganegaraannya. Sebuah ironi terjadi: hanya sehari setelah itu, pada 3 Juni 2010, ia menghembuskan napas terakhir di Banda Aceh pada usia 84 tahun.
Ia dimakamkan di Meureu, Indrapuri, Aceh Besar, berdampingan dengan buyutnya, Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman.
Warisan yang Membelah Sejarah
Kini, seratus tahun setelah kelahirannya, nama Hasan Tiro tetap membelah persepsi.
Bagi pemerintah pusat, ia dikenang sebagai tokoh separatis. Tetapi bagi banyak orang Aceh, ia adalah Wali Nanggroe, pewaris darah pejuang yang tak pernah menyerah.
Warisan Hasan Tiro nyata terlihat dalam: lahirnya MoU Helsinki dan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Terbukanya ruang politik lokal dengan partai-partai Aceh, berdirinya lembaga Wali Nanggroe sebagai simbol persatuan budaya.
Refleksi Seabad Hasan Tiro
Peringatan 100 tahun Hasan Tiro bukan sekadar mengenang kelahiran seorang tokoh, melainkan juga refleksi perjalanan panjang Aceh.
Apakah ia pemberontak atau pejuang? Pahlawan atau musuh negara? Jawabannya bisa berbeda, tergantung dari mana sejarah dibaca.
Namun satu hal pasti: Hasan Tiro adalah sosok yang membentuk arah Aceh modern, dari konflik bersenjata menuju damai yang bersemi.
Seabad Hasan Tiro adalah seabad perdebatan, luka, dan harapan. Dari Tiro ke Stockholm, lalu kembali ke Aceh, ia menutup hidupnya di tanah kelahiran, dengan warisan yang tetap hidup di hati rakyat Aceh.



