Oleh: dr. Suzanna Octiva SpKJ*
Setiap peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) tanggal 12 November selalu membawa pesan tentang harapan.
Di tahun 2025, bertema “Generasi Sehat, Masa Depan Hebat,” kita diajak untuk menatap masa depan bangsa dengan keyakinan bahwa kesehatan adalah fondasi kemajuan.
Makna yang tersirat dari kalimat ini menyatakan bahwa kesehatan adalah harta yang tak ternilai. Ia bukan sekadar hak individu, tetapi pondasi utama bagi kemajuan sebuah bangsa.
Seorang pemimpin yang kuat, seorang guru yang penuh inspirasi, seorang tenaga medis yang berdedikasi — semuanya membutuhkan kesehatan sebagai modal utama untuk berkarya.
Ketika rakyat sehat, mereka mampu belajar, bekerja, berinovasi, dan berkontribusi bagi kemajuan masyarakat. Sebaliknya, jika kesehatan terabaikan, potensi terbaik bangsa akan terkekang, impian besar akan terhambat, dan roda kemajuan akan berjalan lambat, bahkan tersendat.
Itulah mengapa setiap upaya pembangunan sejati harus dimulai dari investasi kesehatan: dari fasilitas medis yang memadai, pelayanan yang adil, hingga perlindungan dan kesejahteraan bagi tenaga kesehatan yang menjadi garda depan kehidupan.
Kesehatan bukanlah tujuan akhir semata, tetapi fondasi yang menahan dan menopang setiap langkah kemajuan. Ketika fondasi ini kokoh, rumah bangsa pun berdiri tegak, mampu menahan guncangan zaman, dan siap menjemput masa depan yang hebat.
“Generasi Sehat, Masa Depan Hebat.” Sebuah tema yang mestinya menggema di setiap sudut negeri dan gema itu mengguncang kesadaran kita semua dari ruang kebijakan hingga bilik-bilik dan koridor Rumah Sakit.
Tema tersebut bukanlah sekedar seremonial melainkan sebuah seruan moral agar negara hadir bagi setiap jiwa yang berjuang menjaga kehidupan makhlukNya.
Namun sayang, gema itu terdengar sumbang di tanah Aceh yang memiliki sejarah panjang tentang pengabdian dan keberanian.
Tak terdengar lagi suara meriam dan bedil bergema, tak ada lagi asap membubung tinggi, menyelimuti medan pertempuran yang penuh dengan jeritan dan keberanian. Zaman telah berganti, hari ini tenaga kesehatan bertempur bukan dengan senjata, tetapi dengan stetoskop, jarum suntik, dan ketelitian.
Mereka menghadapi badai pandemi, keterbatasan fasilitas namun semangat pengabdian tetap berkobar, setegar perlawanan pahlawan Aceh yang tak kenal lelah.
Setiap detik mereka bekerja, setiap nyawa yang terselamatkan, adalah bukti bahwa perjuangan sejati tak selalu dikenang dalam sejarah, tapi tetap menorehkan kemuliaan. Mereka adalah pahlawan modern, yang menjaga generasi sehat demi masa depan hebat bangsa, sambil menghadapi medan pertempuran administratif dan ketidakpastian yang berat.
Ketika Penjaga Kesehatan Harus Bertahan Tanpa Kepastian
Pada tahun 2025 ini, tenaga kesehatan menghadapi fase yang penuh tantangan. Gelombang keluhan dari tenaga kesehatan kembali mencuat di berbagai daerah. Mereka menyoroti masalah keterlambatan dan ketidakjelasan pembayaran jasa medis yang menjadi hak mereka tidak sebanding dengan tanggungjawab yang mereka emban.
Keluhan ini menggambarkan keresahan mendalam di kalangan tenaga kesehatan yang merasa dedikasi mereka belum sepenuhnya dihargai oleh sistem.
Hari demi hari, mereka tetap bekerja di garda depan rumah sakit, menolong pasien, menahan lelah, dan menanggung risiko.
Namun, di balik dedikasi itu, ada beban berat yang tak terlihat — janji yang tertunda dan regulasi yang belum menegaskan hak serta ketidakjelasan kapan pengabdian mereka dihargai secara adil.
Fase ini bukan sekadar masa sulit; ia adalah ujian moral bagi sistem kesehatan, bagi pemerintah, dan bagi masyarakat yang memerlukan kepastian. Setiap tenaga kesehatan yang menahan diri menunggu haknya, menunjukkan kesabaran luar biasa, sekaligus mengingatkan kita bahwa tanpa mereka, upaya mencetak generasi sehat dan masa depan hebat hanya akan menjadi slogan kosong.
Satu hari menjelang hari Kesehatan Nasional peristiwa ini kembali terjadi.
Dua Rumah Sakit milik Pemerintah Aceh yaitu Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) dan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh mempertanyakan jasa medis yang diperoleh dari BPJS sudah 11 bulan belum dapat dibayarkan akibat regulasi Peraturan Gubernur Aceh Nomor 15 Tahun 2024 tentang Pemberian Tambahan Penghasilan bagi Aparatur Sipil Negara, kemudian dilanjutkan pada bulan Maret 2024 dengan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 800.1.5/715/2024 tentang Penetapan Basic dan Besaran Tambahan Penghasilan Pegawai Negeri Sipil.
Regulasi ini mengharuskan rumah sakit memilih antara Jasa Medis atau Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP). Memilih antara Jasa Medis atau Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) merupakan langkah pemerintah yang tidak bijak, mengingat sumber pendapatan Jasa Medis bersumber dari pendapat pembayaran dari BPJS dan Asuransi Kesehatan lainnya yang diatur dalam UU Kesehatan No.17 tahun 2023 dan Permenkes No. 28 tahun 2014.
Sementara Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) diberikan sebagai tambahan penghasilan pegawai karena status pegawai negeri sipil (PNS) sebagaimana diatur juga untuk PNS yang berada di dinas lainnya.
Pengesahan aturan ini yang terkesan tergesa-gesa tanpa memandang beban kerja para dokter spesialis, dokter umum, perawat, bidan dan tenaga kesehatan lainnya yang bekerja dan dinamika antar rumah sakit yang berbeda.
Hal ini membuat tenaga kesehatan terjebak akibat dilema administratif yang membuat mereka tersudut antara pengabdian dan keberlangsungan hidup.
Keadilan yang Tertunda Adalah Luka yang Menganga
Pemerintah Aceh memiliki jawaban atas kondisi tersebut bahwa semua sedang dalam proses penyesuaian regulasi.
Tetapi di lapangan, penundaan itu berarti tagihan listrik yang belum terbayar, biaya sekolah anak yang tertunda dan dapur yang semakin sepi.
Keadilan yang tertunda adalah luka yang menganga, dan luka itu kini terasa di setiap ruang jaga dan koridor rumah sakit.
Sungguh ironis, ketika bangsa menyerukan “Generasi Sehat, Masa Depan Hebat”, tetapi para tenaga kesehatan di Aceh — yang menjadi garda terdepan dari generasi itu — harus mempertanyakan apakah sistem masih berpihak pada mereka.
Bagaimana mungkin kita berbicara tentang masa depan yang hebat jika mereka yang menjaga kesehatan kini berjuang untuk bertahan hidup?
Menyapa Nurani dan Rasa Kemanusiaan
Sebuah Layanan publik pada hakikat berpijak pada banyak hal, salah satunya adalah kesejahteraan tenaga kesehatan bukanlah hadiah, melainkan kewajiban moral dan konstitusional.
Sistem yang menunda hak pekerja kemanusiaan adalah sistem yang kehilangan rasa. Karena ketika mereka bekerja tanpa kepastian, pelayanan kesehatan pun kehilangan jiwanya.
Jangan biarkan para dokter, perawat, dan bidan di Aceh menjadi relawan abadi di negeri sendiri. Jangan biarkan semangat mereka yang lahir dari sumpah profesi layu di hadapan birokrasi yang kaku.
Harapan yang Masih Mungkin Diselamatkan
Namun belum terlambat untuk memperbaiki segalanya. Regulasi bisa direvisi, anggaran bisa disusun ulang, dan komitmen bisa ditegaskan kembali.
Yang dibutuhkan hanyalah kemauan politik dan empati kemanusiaan.
Kita semua tahu: tenaga kesehatan bukan sekadar pekerja. Mereka adalah penjaga kesehatan — orang-orang yang berdiri di garis depan ketika yang lain memilih mundur.
Di RSIA setiap hari adalah pertemuan antara harapan dan perjuangan. Para tenaga kesehatan menjadi saksi lahirnya kehidupan baru, namun juga menghadapi detik-detik genting antara hidup dan maut.
Di balik senyum mereka saat menyambut tangisan pertama bayi, tersimpan kelelahan yang sering tak terucap. Mereka bekerja dengan hati—menenangkan ibu yang cemas, menjaga bayi yang rapuh, dan memastikan setiap napas kecil tetap bertahan.
Di tempat ini, kasih sayang menjadi bagian dari terapi, dan pengabdian menjadi napas dari setiap langkah.
Di rumah sakit jiwa, tenaga kesehatan bekerja bukan hanya dengan ilmu, tetapi juga dengan hati. Setiap hari mereka berhadapan dengan pasien yang sering kali tidak bisa mengungkapkan rasa sakitnya dengan kata-kata.
Di balik senyum dan kesabaran mereka, ada kelelahan yang jarang terlihat, ada perjuangan untuk tetap empati meski batin sendiri kadang ikut lelah.
Mereka tidak sekadar merawat tubuh, tetapi juga berusaha menyembuhkan jiwa—tugas yang sunyi, namun penuh makna.
Jika hari ini Pemerintah Aceh berani menegakkan keadilan bagi mereka—para tenaga kesehatan yang telah mengabdikan hidupnya di antara lelah, air mata, dan doa—maka esok kita benar-benar bisa berbicara tentang Generasi Sehat dan Masa Depan Hebat.
Sebab keadilan bagi mereka bukan sekadar soal hak, tetapi juga bentuk penghargaan atas ketulusan yang tak pernah berhenti menjaga kehidupan.
Karena tidak akan pernah lahir generasi yang sehat dan kuat, jika hati mereka yang menyehatkan bangsa terus dibiarkan terluka, menanggung sepi dalam pengabdian yang seharusnya disinari oleh keadilan.



