Oleh: Drs M. Isa Alima*
Banjir di Sumatera bukan lagi sekadar bencana alam. Ini adalah cermin retak dari kehancuran ekologis yang sudah terlalu lama ditutup-tutupi. Bila Jakarta menampakkan sampah plastik saat banjir, maka Sumatera memperlihatkan wajah yang lebih telanjang: gelondongan kayu besar yang hanyut bersama derasnya arus.
Dan kayu-kayu itu tidak pernah berbohong. Ia berbicara lebih jujur daripada laporan apa pun. Ia menyampaikan bahwa hutan di hulu telah ditebang tanpa belas kasihan.
Curah hujan tidak pernah membawa chainsaw. Awan hitam tidak menebang pohon.
Yang melakukannya manusia, dan lebih pahit lagi, aktivitas itu sering bersandar pada izin yang longgar, regulasi yang bocor, dan pengawasan negara yang teramat mudah dipatahkan.
Ketika air naik dan membawa kayu balok, itu artinya hutan kita telah hancur dari akar. Hulu yang seharusnya menjadi bantalan air kini berubah menjadi kebun sawit yang rakus, tambang ilegal yang merongrong tanah, dan ladang produksi kayu yang dibabat tanpa nalar.
Tidak ada lagi pohon yang menahan limpahan air, tidak ada tanah yang mampu mengikat hujan. Yang tersisa hanya luka terbuka yang dibiarkan menganga.
Ini bukan sekadar banjir. Ini adalah bukti kriminal. Bukti bahwa ekosistem dirusak secara sistematis dan bertahun-tahun. Setiap batang kayu yang hanyut adalah saksi mata. Setiap longsor adalah rekam jejak pembiaran.
Setiap rumah yang terseret banjir adalah harga yang dipaksa dibayar rakyat karena kerakusan segelintir pihak.
Maka jangan lagi kita diam. Jangan lagi kita terima alasan-alasan usang seperti “curah hujan ekstrem” atau “cuaca global tidak stabil”. Itu semua hanya tirai tipis yang dipasang untuk menutupi fakta bahwa hutan Sumatera telah diruntuhkan dari dalam, sedikit demi sedikit, hingga akhirnya roboh menjadi bencana.
Negara tidak boleh kalah oleh cukong kayu. Negara tidak boleh membiarkan tambang ilegal terus mencabik-cabik perut bumi.
Negara tidak boleh sekadar hadir setelah banjir, tetapi harus hadir di hulu, tempat semua kerusakan bermula.
Sumatera bukan hamparan tanah kosong. Ia adalah rumah, darah, dan napas bagi jutaan warga. Namun hari ini rumah itu dilanda banjir bukan karena hujan deras, melainkan karena keputusan-keputusan yang mengabaikan masa depan.
Dan bila kita tak bersuara, bila kita tak menuntut perubahan, maka bencana berikutnya hanya menunggu giliran.
Banjir Sumatera bukan sekadar air yang meluap. Ia adalah peringatan keras bahwa hutan kita sedang sekarat.
Dan bila hutan sekarat, bangsa ini ikut kehilangan penyangganya.
*Penulis adalah Pemerhati Lingkungan & Kebijakan Publik Aceh



