Banda Aceh, Infoaceh.net — Krisis listrik yang kembali berulang di Aceh memantik kritik keras dari Ketua Pembela Tanah Air (PeTA) Aceh, Teuku Sukandi. Ia menilai pemadaman yang terjadi belakangan ini tidak lagi bisa dianggap sekadar gangguan teknis, melainkan sinyal nyata bahwa tata kelola energi di Aceh sedang berada dalam kondisi paling rapuh.
Sukandi menyebut, Aceh tak sepatutnya berada dalam situasi gelap ketika data justru menunjukkan Aceh memiliki surplus energi yang signifikan dalam kondisi normal.
Berdasarkan laporan Danantara Indonesia, subsistem Aceh memiliki daya mampu netto sebesar 958,2 MW, sementara beban puncak tertinggi pada 28 Juli 2025 hanya mencapai 620,2 MW. Masih terdapat cadangan sekitar 338 MW atau setara 54,5 persen.
Bahkan dalam kondisi optimal, Aceh memiliki surplus 164 MW yang dipasok ke Sumatera Utara, dengan catatan PLTU Nagan Raya dan PLTMG Arun beroperasi normal.
Namun, kenyataan di lapangan justru berbanding terbalik. Pemadaman listrik terus terjadi dan masyarakat menanggung akibatnya.
“Jika pembangkit bekerja normal, Aceh tidak akan mengalami krisis daya. Artinya, ada yang tidak beres dalam operasional PLTU dan PLTMG. Salah satu penyebab paling mungkin adalah tidak beroperasinya pembangkit secara normal akibat ketersediaan bahan bakar yang terganggu,” ujar Teuku Sukandi, Selasa (2/11/2025).
Ironi terbesar menurut Sukandi adalah fakta bahwa PLTU Aceh berbahan bakar batu bara, sementara Aceh, khususnya wilayah Barat Selatan adalah salah satu daerah yang paling kaya dengan tambang batu bara di Sumatera.
Data Dinas ESDM Aceh per Juli 2025 menunjukkan Aceh Barat memiliki enam perusahaan pemegang IUP Operasi Produksi dengan total area lebih dari 18 ribu hektar dan Nagan Raya dengan total area mendekati 15 ribu hektar.
Dia merincikan, 6 perusahaan batubara pemegang IUP Operasi Produksi yaitu PT Agrabudi Jasa Bersama seluas 5.000 Ha, PT Mifa Bersaudara seluas 3.134 Ha, PT Prima Bara Mahadana seluas 2.024 Ha, PT. Surya Makmur Indonesia seluas 1.600 Ha, PT. Indonesia Pasifik Energy seluas 3.263 Ha, dan PT. Nirmala Coal Nusantara seluas 3.168 Ha.
Di Kabupaten Nagan Raya juga terdapat 3 perusahaan Batu Bara yang sedang mengantongi IUP Produksi yaitu PT Bara Energy Lestari seluas 1.495 Ha, PT Mega Multi Cemerlang seluas 7.943 Ha, dan PT. Energy Tambang Gemilang seluas 1.180,28 Ha.
Dengan luasan dan jumlah perusahaan sebesar itu, Sukandi mempertanyakan bagaimana mungkin PLTU di Aceh mengalami gangguan akibat kekurangan bahan bakar batu bara.
Baginya, situasi ini hanya mungkin terjadi apabila distribusi batu bara lebih diprioritaskan untuk pihak luar Aceh atau bahkan ekspor, ketimbang untuk menjamin kebutuhan energi masyarakat Aceh sendiri.
“Untuk apa puluhan ribu hektar konsesi pertambangan dibuka kalau PLTU kita tetap kekurangan bahan bakar? Apakah lebih penting memenuhi kebutuhan luar Aceh sementara rakyat Aceh harus hidup dalam kegelapan? Pertanyaan ini harus dijawab secara jujur dan transparan oleh Pemerintah Aceh,” tegasnya.
Sukandi juga menyoroti anomali pemadaman listrik yang terjadi ketika banjir melanda Aceh beberapa waktu lalu.
Di wilayah timur-utara Aceh memang terdapat beberapa tower transmisi PLN yang roboh diterjang banjir bandang. Namun hal yang membuat masyarakat bertanya-tanya, wilayah Barat Selatan yang memiliki PLTU Nagan Raya justru turut mengalami pemadaman, padahal tak ada tower yang dilaporkan rusak di kawasan tersebut.
“Jika tower transmisi Medan-Aceh bermasalah, kenapa PLTU di Barat Selatan tidak mampu mempertahankan suplai daya untuk wilayahnya sendiri? Untuk apa ada PLTU di Nagan Raya kalau sekali transmisi di Medan terganggu, rakyat di Barat Selatan ikut gelap? Ini pertanyaan mendasar yang tak boleh lagi dibiarkan kabur,” ujarnya.
Ia bahkan menduga daya listrik dari PLTU Nagan Raya tidak sepenuhnya dialokasikan untuk kebutuhan Aceh, sehingga setiap gangguan transmisi di luar wilayah Aceh langsung berdampak meluas.
Menurutnya, pola ini memperlihatkan bahwa Aceh tidak memiliki kemandirian energi meski memiliki sumber daya alam yang melimpah.
Selain sektor energi, Sukandi juga menguliti minimnya kontribusi perusahaan tambang dan pemegang HGU terhadap masyarakat Aceh.
Data Dinas ESDM Aceh mencatat ada 64 perusahaan yang memegang IUP di Aceh, sementara data BPS menunjukkan total lahan HGU yang dikuasai perusahaan mencapai 487,5 ribu hektar.
Namun dalam kenyataan, ketika banjir dan longsor melanda Aceh, kehadiran dan kontribusi CSR perusahaan-perusahaan tersebut hampir tak terdengar.
Ia mempertanyakan transparansi dan penyaluran dana CSR yang seharusnya menjadi kewajiban moral dan legal bagi perusahaan yang mengeruk kekayaan alam Aceh. “Ada 64 perusahaan IUP dan ratusan ribu hektar HGU dikuasai perusahaan. Tapi ketika rakyat butuh bantuan, mereka seperti menghilang. CSR mereka kemana? Siapa yang menikmatinya? Kenapa tidak terlihat dampaknya kepada masyarakat saat bencana?” kata Sukandi.
Ia juga menyoroti bahwa banyak perusahaan tambang dan HGU yang berkantor pusat di luar Aceh, sehingga keuntungan dari sumber daya alam Aceh justru dibawa keluar daerah, sementara rakyat Aceh hanya menjadi penonton dari kekayaan bumi sendiri.
Untuk itu, Sukandi mendesak Presiden Prabowo Subianto dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem bertindak tegas. Menurutnya, pemerintah harus segera memerintahkan audit menyeluruh terhadap seluruh pembangkit listrik di Aceh, khususnya PLTU Nagan Raya dan PLTMG Arun, serta mengevaluasi alur distribusi batu bara dari perusahaan tambang ke pembangkit.
Selain itu, CSR dari seluruh pemegang IUP dan HGU harus diaudit oleh KPK dan Kejaksaan Agung demi memastikan tidak ada penyalahgunaan dan agar hak masyarakat Aceh terpenuhi.
“Kami percaya Presiden Prabowo dan Gubernur Mualem, yang dipilih oleh suara rakyat, tidak akan membiarkan rakyat Aceh terus hidup dalam ketidakpastian, menjadi korban bencana, dan merasakan gelap di atas tanah yang kaya. Jika ada perusahaan nakal yang hanya mengeruk hasil tanpa memperbaiki daerahnya, sudah waktunya izin mereka dicabut,” pungkasnya.
Sukandi melihat bahwa problem listrik Aceh bukan semata teknis, melainkan persoalan struktural yang menyangkut tata kelola energi, pertambangan, distribusi bahan bakar, hingga transparansi CSR.
Aceh hari ini kembali diperlihatkan sebagai wilayah yang kaya di atas kertas, namun miskin dalam realitas keseharian. Sebuah ironi yang tidak akan pernah berakhir bila pemerintah tidak berani mengambil langkah tegas.



