Aceh Besar, Infoaceh.net — Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al-Haythar, menunjukkan kemarahan dan kegeramannya dengan kondisi yang sedang dialami masyarakat Aceh yang tengah dilanda bencana banjir bandang dan longsor.
Malik Mahmud menilai penanganan bencana oleh pemerintah sangat lambat, sehingga banyak wilayah terdampak masih terisolir dan masyarakat kesulitan menerima bantuan.
“Penanganannya lambat, sangat lambat. Sampai saat ini masih ada daerah terisolir dan masyarakat kesulitan mendapatkan bantuan,” tegas Wali Nanggroe saat menerima audiensi pengurus Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Aceh di Meuligoe Wali Nanggroe, kawasan Lampeuneurut, Aceh Besar, Selasa (10/12/2025).
Wali Nanggroe mengaku geram setelah mengetahui helikopter yang dikirim ke Aceh hanya berjumlah sekitar empat unit. Menurutnya, dengan skala bencana yang melanda 18 kabupaten/kota di Aceh, jumlah tersebut sangat tidak memadai.
Ia menilai Aceh membutuhkan puluhan helikopter sekaligus, terlebih bencana serupa juga terjadi di Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
“Bencananya di Aceh itu 18 kabupaten/kota, tidak mudah menangani ini sekaligus. Para korban butuh bantuan cepat. Alasannya apa lagi tidak ditetapkan bencana nasional?”
Wali Nanggroe menambahkan bahwa penetapan status bencana nasional seharusnya dilakukan lebih cepat untuk memungkinkan akses bantuan dari negara-negara luar.
Malik Mahmud mengungkapkan dirinya telah berkomunikasi dengan sejumlah negara, seperti Tiongkok, Singapura, Rusia, dan Uni Emirat Arab, yang siap membantu Aceh.
Namun, bantuan tersebut tidak bisa masuk karena pemerintah pusat belum membuka akses bantuan internasional.
“Mereka belum bisa masuk karena pemerintah pusat belum membuka ‘pintu’. Yang bisa masuk hanya bantuan dari konsulat atau kedutaan yang ada di Indonesia, itu pun terbatas,” jelasnya.
Ia menilai negara-negara terdekat sudah siap membantu Aceh, tetapi terhambat oleh kebijakan pemerintah pusat.
Dalam kesempatan itu, Wali Nanggroe juga menyinggung soal kunjungan Presiden Prabowo Subianto yang sudah dua kali datang ke Aceh tanpa pemberitahuan kepadanya. Ia mengaku tidak pernah diundang atau diberi informasi mengenai kedatangan Presiden.
“Dua kali datang, dua kali tidak ada kabar. Staf saya tanya apakah diundang dampingi Presiden? Saya bilang tidak ada kabar apa-apa,” ujar Wali.
Ia juga menyesalkan karena Presiden hanya berkunjung ke wilayah yang dianggap tidak terlalu parah terdampak bencana yakni di Aceh Tenggara dan Bireuen, bukan ke Aceh Tamiang atau Aceh Tengah yang lebih parah.
Aceh Punya Kewenangan untuk Kerja Sama Kemanusiaan
Wali Nanggroe menjelaskan bahwa ruang kerja sama Aceh dengan pihak luar negeri sebenarnya sudah diatur dalam MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), khususnya di bidang pendidikan, kebudayaan, ekonomi, dan kemanusiaan.
Termasuk dalam hal menerima bantuan luar negeri untuk penanganan bencana.
Menurutnya, Aceh dapat berhubungan dengan pihak luar negeri selama tetap sepengetahuan pemerintah pusat.
“Bantuan hibah luar negeri dan bantuan kemanusiaan itu boleh, terutama untuk bencana. Mekanisme tinggal dikomunikasikan antara Pemerintah Aceh, DPRA, dan pemerintah pusat,” ujarnya.
Ia menegaskan upaya komunikasi dengan sejumlah negara sudah dilakukan dan berharap pemerintah pusat tidak menghambat proses kemanusiaan tersebut.
Salahkan Kerusakan Hutan dan Perambahan Liar
Selain menyoroti lambannya penanganan bencana, Malik Mahmud menegaskan bahwa bencana besar tersebut terjadi bukan hanya karena curah hujan tinggi, tetapi akibat kerusakan hutan Aceh yang sudah berlangsung bertahun-tahun akibat penebangan liar, pembakaran hutan, dan pertambangan.
“Saat hujan lebat, tidak ada lagi pohon yang menyerap air. Air langsung menghantam rumah warga. Sungai-sungai kini penuh gelondongan kayu,” katanya.
Ia menyayangkan lemahnya pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam Aceh hingga merusak hutan.
Wali Nanggroe mengungkapkan dirinya telah mengingatkan pemerintah daerah dan berbagai pihak sejak Oktober 2025 untuk melakukan mitigasi. Namun, peringatan itu tidak digubris.
“Banyak yang tidak peka. Kita sudah tahu hujan besar terjadi tiap akhir tahun. Tapi tidak ada kesiapan,” ujarnya.
Aceh Diibaratkan “Diterkam Singa dan Hyena”
Di akhir pertemuan, Wali Nanggroe mengibaratkan kondisi Aceh seperti sedang “diterkam binatang buas” akibat eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam oleh pihak luar.
“Pusat beri izin, tanah-tanah Aceh dikelola orang luar. Kita terus-terusan ‘dijajah’. Tidak ada yang berani bersuara,” tegasnya.
Ia pun meminta seluruh pihak di Aceh kompak menjaga hutan dan sumber daya alam agar tidak semakin rusak dan merugikan masyarakat.



