Aceh Timur, Infoaceh.net — Kekecewaan dan keputusasaan warga terdampak bencana besar banjir bandang dan longsor di Aceh mulai memuncak.
Di sejumlah titik di sepanjang Jalan Nasional Banda Aceh–Medan, warga mengibarkan bendera putih sebagai simbol darurat dan permohonan bantuan kepada dunia internasional.
Langkah ini dilakukan karena mereka menilai pemerintah Indonesia lambat menangani bencana yang telah melumpuhkan sedikitnya 18 kabupaten/kota di Aceh.
Fenomena bendera putih itu terlihat melalui sejumlah video yang beredar luas di media sosial pada Jum’at (12/12/2025). Bendera berwarna putih itu diikat pada batang kayu, lalu ditancapkan di bahu jalan, persimpangan, hingga jembatan-jembatan besar yang menjadi jalur utama transportasi.
Bentangan Bendera Putih dari Aceh Tamiang hingga Pidie Jaya
Informasi yang diterima Infoaceh.net menyebutkan bahwa pengibaran bendera putih dilakukan di sejumlah wilayah paling parah terdampak banjir, khususnya daerah-daerah di sepanjang poros timur Aceh.
Mulai dari: Aceh Tamiang, Kota Langsa, Aceh Timur, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Bireuen dan Pidie Jaya
Di beberapa lokasi, bendera dipasang berjejer di kiri-kanan jalan seperti pagar darurat, seolah ingin memastikan tanda itu tidak terlewatkan oleh siapapun yang melintas.
Sejumlah jembatan besar seperti di Aceh Tamiang, Aceh Timur dan Bireuen juga terlihat dihiasi deretan bendera putih yang berkibar di tengah angin deras.
Bagi warga, simbol tersebut bukan sekadar tanda menyerah, melainkan isyarat bahwa situasi di Aceh telah mencapai level darurat kemanusiaan.
Warga: “Kami Minta Dunia Internasional Turun ke Aceh”
Seorang warga dari Kabupaten Aceh Timur yang menjadi korban banjir mengaku bahwa pengibaran bendera putih dilakukan sebagai bentuk keputusasaan kolektif masyarakat akibat lambatnya penanganan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
“Aceh sekarang berarti dalam darurat. Kami memohon kepada pihak internasional, negara-negara di PBB, agar membantu Aceh pasca banjir,” ujarnya kepada wartawan.
Ia menambahkan langkah ini diambil karena kondisi di lapangan terus memburuk sementara bantuan logistik, air bersih, obat-obatan, dan peralatan evakuasi masih sangat terbatas. Banyak desa masih terisolir, akses jalan terputus, dan ribuan warga bertahan di posko seadanya.
“Kami meminta kepada NGO yang ada di negara asing untuk cepat masuk ke Aceh, karena Aceh sedang darurat. Kami tidak bisa menunggu lebih lama,” tambahnya dengan suara bergetar.
Gerakan Spontan Warga: “Kami Kehabisan Cara”
Menurut warga tersebut, aksi pemasangan bendera putih bukanlah gerakan politik ataupun tekanan kepada pihak tertentu. Gerakan ini murni muncul dari hati nurani warga yang sudah terpojok oleh bencana dan minimnya respons pemerintah.
“Ini gerakan hati nurani. Tidak ada aktor, tidak ada organisasi. Ini hanya cara kami untuk memberitahu bahwa keadaan sudah sangat buruk. Negara internasional belum dapat memperhatikan Aceh, maka kami harus menarik perhatian itu,” ungkapnya.
Warga dari berbagai daerah lain yang ikut memasang bendera juga menyampaikan hal serupa. Kebanyakan dari mereka telah berhari-hari terjebak banjir, kehilangan harta benda, bahkan kehilangan anggota keluarga, tanpa kepastian kapan bantuan penuh akan tiba.
Bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh kali ini disebut sebagai salah satu yang terparah dalam beberapa tahun terakhir.
Hujan ekstrem yang turun selama beberapa hari menyebabkan: sungai-sungai besar di Aceh meluap, ratusan desa terendam,, jalan nasional putus di berbagai titik, jembatan runtuh, listrik padam, sinyal telekomunikasi hilang selama berjam-jam termasuk di daerah padat penduduk.
Situasi ini diperparah dengan terbatasnya alat berat, minimnya perahu evakuasi, serta lambatnya distribusi logistik.
Pengibaran bendera putih oleh warga semakin mempertegas tuntutan agar pemerintah pusat mengambil langkah cepat dan terukur. Para tokoh masyarakat, akademisi, hingga relawan kemanusiaan menilai bahwa situasi Aceh kini masuk kategori darurat nasional sehingga memerlukan: penambahan personel TNI/Polri, bantuan udara secara masif, bantuan logistik dan medis skala besar, tim SAR nasional tambahan, mobilisasi alat berat, pembukaan akses darurat ke wilayah yang terisolasi
Sementara itu, sejumlah organisasi internasional seperti lembaga kemanusiaan asing, NGO global, dan lembaga donor disebut sedang memantau situasi Aceh, namun belum memastikan aksi masuk ke lapangan.
Warga: “Jangan Biarkan Aceh Sendirian”
Di tengah ketidakpastian dan cuaca ekstrem yang belum mereda, warga berharap pengibaran bendera putih ini membuka mata semua pihak bahwa bencana di Aceh bukan sekadar banjir biasa, tetapi kondisi darurat kemanusiaan yang membutuhkan penanganan cepat.
“Kami bukan ingin membuat gaduh. Kami hanya ingin hidup. Jangan biarkan Aceh sendirian,” kata salah satu warga yang mengibarkan bendera putih di Aceh Tamiang.



