JAKARTA, Infoaceh.net — Presiden RI Prabowo Subianto menolak desakan penetapan status Darurat Bencana Nasional atas banjir bandang dan longsor yang melanda wilayah Sumatera, termasuk Aceh.
Pernyataan itu disampaikannya secara terbuka dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/12/2025).
Prabowo merespons aspirasi sejumlah pihak—termasuk ulama Aceh—yang meminta pemerintah pusat menetapkan bencana hidrometeorologi di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat sebagai bencana nasional.
“Ada yang teriak-teriak ingin ini dinyatakan bencana nasional. Kita sudah kerahkan, ini tiga provinsi dari 38 provinsi. Jadi, situasi terkendali. Saya monitor terus, ya,” kata Prabowo.
Menurut Presiden, skala bencana yang saat ini terjadi belum memenuhi kriteria untuk penetapan status darurat nasional, meskipun pemerintah pusat terus melakukan pemantauan dan pengerahan sumber daya.
Meski menolak penetapan bencana nasional, Prabowo memastikan pemerintah akan membentuk satuan tugas (satgas) khusus untuk rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah terdampak.
Ia juga meminta agar pembangunan hunian bagi korban bencana segera direalisasikan.
“Bahkan mungkin saya dapat laporan dari Menteri Perumahan, ya, mungkin mulai hari Minggu ini kita sudah mulai membangun 2.000 rumah. Kemungkinan rumah ini bisa langsung jadi rumah tetap,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Prabowo menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penanganan bencana, mulai dari TNI, Polri, pemerintah daerah, hingga relawan dan masyarakat.
“Relawan, warga masyarakat bahu-membahu membantu proses evakuasi, penyaluran bantuan, dan pemulihan akses di sana. Kita semua satu tim. Dan saya terima kasih,” lanjutnya.
Sebelumnya, Muzakarah Ulama Aceh 2025 yang digelar pada Ahad (14/12/2025) di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, secara resmi merekomendasikan agar Presiden Prabowo Subianto menetapkan bencana hidrometeorologi banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebagai Darurat Bencana Nasional.
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk H Faisal Ali—yang akrab disapa Abu Sibreh—menyampaikan bahwa penetapan status tersebut dinilai penting untuk mempercepat penanganan korban, pemulihan infrastruktur, serta membuka akses bantuan kemanusiaan internasional secara terkoordinasi dan akuntabel.
“Muzakarah Ulama Aceh menghasilkan sejumlah rekomendasi penting terkait penanganan bencana, yakni penetapan bencana nasional dan penguatan peran masjid sebagai pemersatu umat,” kata Faisal Ali saat membacakan rekomendasi.
Ia menjelaskan, kegiatan muzakarah juga dirangkai dengan samadiah dan doa bersama untuk para korban banjir dan tanah longsor yang dipusatkan di halaman Masjid Raya Baiturrahman.
Selain mendesak pemerintah pusat, para ulama juga meminta Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) bersama para bupati dan wali kota se-Aceh agar menyusun peta jalan pembangunan Aceh pascabencana yang terintegrasi.
Peta jalan tersebut diharapkan berorientasi pada mitigasi bencana, pemulihan lingkungan, penguatan ekonomi masyarakat, serta perlindungan lembaga pendidikan dan rumah ibadah.
Ulama Aceh juga merekomendasikan agar pemerintah daerah melakukan revisi anggaran untuk menyesuaikan kebutuhan penanganan banjir dan longsor, serta meminta pemerintah pusat memberikan dukungan anggaran dan langkah strategis jangka pendek maupun jangka panjang secara objektif dan proporsional.
Dalam rekomendasi lainnya, para ulama menekankan pentingnya transparansi dan amanah dalam pengelolaan bantuan kemanusiaan, serta penegakan hukum terhadap pelaku perusakan lingkungan yang dinilai berkontribusi terhadap terjadinya bencana.
Hingga kini, perbedaan pandangan antara pemerintah pusat dan tokoh-tokoh Aceh terkait status bencana nasional masih terus menjadi sorotan publik, di tengah kondisi warga terdampak yang belum sepenuhnya pulih.



