Oleh: T. Abdul Hafil Fuddin SH SIP MH*
Banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Aceh dalam beberapa pekan terakhir bukan sekadar peristiwa alam biasa. Ia adalah ujian bagi kemanusiaan, sekaligus cermin bagi kita semua tentang sejauh mana negara benar-benar hadir ketika rakyatnya berada dalam keadaan paling rapuh.
Sebagai orang Aceh, saya mengikuti penanganan bencana ini dengan rasa harap, syukur, sekaligus kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan.
Harus diakui, negara telah datang. Aparat TNI dan Polri turun ke lapangan, tenaga kesehatan bekerja tanpa lelah, relawan bergerak dengan segala keterbatasan.
Posko pengungsian didirikan, dapur umum mengepul di tengah lumpur, dan bantuan logistik terus diupayakan.
Untuk semua itu, penghargaan patut disampaikan. Di tengah keterbatasan, ada ikhtiar yang nyata.
Namun di balik laporan resmi dan gambar-gambar bantuan yang sampai ke pusat pengungsian, masih terdengar suara lirih dari kampung-kampung yang jauh.
Aceh dengan bentang alam pegunungan, sungai besar, dan jalan-jalan yang terputus, menyimpan banyak sudut yang belum sepenuhnya terjangkau.
Hingga hari ini, masih ada jembatan yang runtuh, akses darurat yang terbatas, dan wilayah yang nyaris terisolasi.
Bahkan, ada kampung yang seakan hilang dari peta setelah diterjang banjir bandang dan longsor.
Bagi warga di sana, kehadiran negara belum sepenuhnya terasa. Bukan karena negara tidak bekerja, melainkan karena jarak antara pusat pengambilan keputusan dan realitas di lapangan masih terlalu lebar.
Negara sudah datang, tetapi belum sepenuhnya tiba.
Persoalan lain yang sering luput dari perhatian adalah cara orang Aceh mengungsi. Banyak warga memilih berlindung di rumah saudara, di meunasah atau di tempat-tempat non-resmi.
Ini bukan semata pilihan praktis, melainkan cerminan nilai budaya: menjaga kehormatan keluarga dan merawat kebersamaan.
Sayangnya, pilihan ini membuat mereka tidak tercatat sebagai pengungsi formal. Akibatnya, bantuan dan layanan kesehatan sering kali tidak sampai, padahal penderitaan yang mereka rasakan sama beratnya.
Pengalaman tsunami 2004 semestinya menjadi pengingat kolektif. Saat itu, Aceh belajar bahwa pemulihan yang cepat hanya mungkin terjadi ketika negara membuka ruang kerja sama yang terukur, transparan, dan berpihak pada korban.
Kedaulatan tetap terjaga, tetapi keselamatan rakyat menjadi yang utama. Dalam konteks bencana hari ini, kehati-hatian pemerintah tentu dapat dipahami, namun jangan sampai kehati-hatian itu justru memperlambat pemulihan warga.
Rencana pembentukan satuan tugas atau badan khusus penanganan bencana patut diapresiasi. Aceh membutuhkan satu komando yang jelas, keputusan yang cepat, dan keberanian menembus wilayah terisolasi. Bencana tidak bisa ditangani dengan cara biasa.
Ia menuntut kehadiran negara yang sigap, adaptif, dan mau mendengar suara dari bawah.
Yang juga tak boleh dilupakan adalah hari-hari setelah banjir surut. Banyak petani kehilangan sawah dan ladang, banyak keluarga kehilangan sumber penghidupan.
Tanpa jaminan hidup sementara, bantuan pertanian, dan pemulihan ekonomi berbasis gampong, bencana alam bisa berubah menjadi luka sosial yang panjang. Bagi orang Aceh, kehilangan tanah garapan bukan sekadar kehilangan ekonomi, tetapi juga kehilangan martabat.
Sebagai bagian dari masyarakat Aceh, saya ingin menegaskan bahwa Aceh tidak menuntut keistimewaan.
Yang kami harapkan hanyalah kehadiran negara yang utuh, yakni hadir saat air mulai naik, hadir ketika lumpur menutup jalan, dan tetap hadir hingga rakyat dapat kembali hidup dengan layak dan bermartabat.
Dalam keyakinan orang Aceh, musibah adalah ujian dari Allah SWT. Namun, ujian itu menuntut ikhtiar, bukan hanya kesabaran.
Menolong sesama adalah bagian dari iman, dan negara memiliki amanah besar untuk memastikan tak ada satu pun warga yang merasa ditinggalkan.
Aceh kuat karena iman dan kebersamaan. Indonesia akan kuat bila negara benar-benar hadir, bukan hanya datang lalu pergi, tetapi tinggal bersama rakyatnya sampai luka itu benar-benar sembuh.
*Penulis adalah mantan Pangdam Iskandar Muda, Tokoh Masyarakat Aceh



