INFOACEH.netINFOACEH.netINFOACEH.net
  • Beranda
  • Aceh
  • Nasional
  • Dunia
  • Umum
  • Ulama Aceh
  • Syariah
  • Politik
  • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Opini
  • Olahraga
  • Hukum
  • Gaya Hidup
Cari Berita
© 2025 PT. INFO ACEH NET. All Rights Reserved.
Font ResizerAa
Font ResizerAa
INFOACEH.netINFOACEH.net
Cari Berita
  • Beranda
  • Aceh
  • Nasional
  • Luar Negeri
  • Umum
  • Biografi Ulama Aceh
  • Syariah
  • Politik
  • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Opini
  • Olahraga
  • Hukum
  • Kesehatan & Gaya Hidup
Follow US
© 2025 PT. INFO ACEH NET. All Rights Reserved.
Opini

Indonesia dalam Cengkeraman Kepribadian Otoritarian

Last updated: Kamis, 18 Desember 2025 02:38 WIB
By Redaksi - Wartawati Infoaceh.net
Share
Lama Bacaan 5 Menit
Otoritarianisme merupakan antitesis demokrasi konstitusional. (Foto: Ilustrasi)
SHARE

Oleh: Sri Radjasa (Pemerhati Intelijen)

Demokrasi tidak selalu runtuh oleh kudeta atau kekerasan terbuka. Dalam banyak kasus modern, ia justru melemah secara perlahan, melalui prosedur yang sah, bahasa hukum yang rapi, dan kepemimpinan yang lahir dari pemilu. Inilah paradoks demokrasi kontemporer yang sejak lama diperingatkan para pemikir politik.

Negara Belum Sepenuhnya Hadir di Tengah Bencana Banjir Aceh

Theodor W. Adorno, dalam The Authoritarian Personality (1950), menguraikan satu karakter sosial yang menjadi fondasi laten kemunduran demokrasi, yaitu kepribadian otoritarian. Tipe ini ditandai oleh kepatuhan berlebihan pada figur berkuasa, cara berpikir hitam-putih, serta kecenderungan memandang kritik sebagai ancaman.

- ADVERTISEMENT -

Kepribadian demikian tidak lahir secara individual semata, melainkan tumbuh dalam konteks sosial-politik ketika kekuasaan kehilangan pembatas dan nalar kritis publik melemah.

Dalam pengertian kenegaraan, otoritarianisme merupakan antitesis demokrasi konstitusional. Demokrasi bertumpu pada pembatasan kekuasaan, supremasi hukum, dan partisipasi warga.

- ADVERTISEMENT -
Mahmud Padang (Pemerhati Sosial Politik Aceh, Ketua DPW Alamp Aksi Aceh)
Drama Nasional di Panggung Bencana Aceh

Otoritarianisme, sebaliknya, cenderung memusatkan kendali politik dengan dalih stabilitas, efektivitas, atau kepentingan nasional. Ia tidak selalu hadir dalam wajah diktatorial klasik, tetapi sering menyusup melalui praktik legalistik dan konsolidasi elite.

Dua dekade pascareformasi, Indonesia menghadapi ironi sejarah. Reformasi 1998 yang lahir dari perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru justru menyisakan ruang bagi kebangkitan pola kepemimpinan dengan karakter serupa, meski dalam kemasan demokratis.

Sepuluh tahun pemerintahan Joko Widodo menjadi periode penting yang patut dievaluasi secara jujur dan proporsional.

Lebih 100 organisasi masyarakat sipil melayangkan somasi dan mendesak Presiden Prabowo Subianto segera menetapkan status bencana nasional atas banjir-longsor besar yang melanda Aceh-Sumatera. (Foto: Ist)
Narasi Pemerintah Runtuh: Bencana Sumatera Ungkap Negara Tak Mampu ‘Menangani Sendiri’

Sejumlah indikator demokrasi global mencatat kecenderungan penurunan kualitas demokrasi Indonesia. Freedom House pada 2023 menurunkan status Indonesia dari “Free” menjadi “Partly Free”, dengan catatan utama pada melemahnya kebebasan sipil dan independensi hukum. V-Dem Institute (2024) bahkan mengelompokkan Indonesia sebagai negara yang mengalami autocratization, yakni kemunduran demokrasi yang berlangsung bertahap melalui instrumen formal negara.

- ADVERTISEMENT -

Gejala tersebut tampak dalam penguatan kewenangan aparat penegak hukum yang dinilai minim akuntabilitas, melemahnya oposisi melalui konsolidasi elite politik, serta menguatnya politik kekerabatan sebagai mekanisme suksesi.

Dalam literatur politik, kondisi ini dikenal sebagai executive aggrandizement, yakni perluasan kekuasaan eksekutif yang menggerus fungsi kontrol tanpa harus membubarkan pemilu atau parlemen.

Harapan publik akan koreksi arah pasca pergantian kepemimpinan nasional pada 2024 belum sepenuhnya terwujud. Gaya kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, dalam beberapa aspek, memperlihatkan kesinambungan dengan pola sebelumnya.

Pernyataan bahwa presiden terdahulu merupakan “guru politik” bukan sekadar simbol relasi personal, melainkan tercermin dalam praktik kekuasaan yang mengedepankan stabilitas elite dibanding perluasan partisipasi publik.

Perluasan peran Polri ke ranah sipil menjadi salah satu kebijakan yang memicu diskursus luas di kalangan akademisi dan masyarakat sipil. Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang prinsip checks and balances, terlebih ketika dinilai beririsan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat.

Dalam negara hukum, konstitusi seharusnya menjadi pagar tertinggi kekuasaan, bukan sekadar referensi normatif yang dapat dikesampingkan.

Montesquieu telah lama mengingatkan bahwa kekuasaan yang tidak dibatasi akan cenderung disalahgunakan. Sementara Hannah Arendt menegaskan bahwa otoritarianisme modern kerap hadir bukan dalam bentuk represi kasar, melainkan melalui normalisasi kebijakan administratif yang secara perlahan mengikis kebebasan warga. Demokrasi tidak roboh sekaligus; ia aus dari dalam.

Dalam perspektif kajian intelijen dan konflik sosial, stabilitas yang dibangun di atas pengabaian aspirasi publik adalah stabilitas semu.

Akumulasi kekecewaan akibat ketimpangan ekonomi, penegakan hukum yang tidak imparsial, serta penyempitan ruang sipil menciptakan apa yang disebut latent instability. Kondisi ini tidak selalu tampak di permukaan, tetapi dapat berubah menjadi krisis terbuka ketika dipicu oleh satu peristiwa simbolik.

Reformasi 1998 lahir bukan dari ruang hampa. Ia merupakan hasil delegitimasi kekuasaan yang gagal membaca denyut masyarakat. Dalam konteks ini, wacana “Reformasi Jilid II” seharusnya dipahami bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai peringatan dini.

Negara yang sehat adalah negara yang mampu mengoreksi dirinya sebelum tekanan publik berubah menjadi ledakan sosial.

Demokrasi bukan sekadar prosedur elektoral lima tahunan. Ia adalah komitmen berkelanjutan untuk membatasi kekuasaan, membuka ruang kritik, dan menempatkan hukum sebagai panglima. Ketika kritik dipersempit, oposisi dilemahkan, dan hukum dijadikan instrumen politik, maka yang terancam bukan hanya demokrasi, melainkan juga legitimasi negara.

Sejarah selalu memberi pilihan, yakni belajar dari pengalaman dan berbenah, atau mengulangi kesalahan yang sama dengan biaya sosial dan politik yang jauh lebih mahal.

Previous Article Libur Nataru, Hutama Karya Beri Diskon Tarif 20% Jalan Tol Sibanceh
Tidak ada komentar

Beri KomentarBatalkan balasan

Populer

Aceh
Tiga Pekan Pascabanjir, Ratusan Ribu Warga Aceh Masih Terisolir dan Kelaparan
Kamis, 18 Desember 2025
Viral Link Video Syakirah Versi Terbaru Berdurasi 16 Menit Beredar di X dan TikTok
Umum
Viral Link Video Syakirah Versi Terbaru Berdurasi 16 Menit Beredar di X dan TikTok
Rabu, 28 Mei 2025
Ekonomi
Pertamina Sumbagut dan BPH Migas Kawal Distribusi BBM-LPG di Aceh
Kamis, 18 Desember 2025
Presiden Prabowo Subianto menolak desakan ulama Aceh untuk penetapan status Bencana Nasional atas banjir bandang dan longsor yang melanda wilayah Aceh-Sumatera. (Foto: Ist)
Nasional
Tolak Permintaan Ulama Aceh, Prabowo Enggan Tetapkan Bencana Nasional: Ini 3 dari 38 Provinsi
Selasa, 16 Desember 2025
Aceh
Penyanyi Malaysia Siti Nurhaliza Kirim 3 Truk Bantuan untuk Korban Banjir Aceh 
Kamis, 18 Desember 2025

Paling Dikomentari

Wakil Gubernur Aceh Fadhlullah atau Dek Fad saat melepas pelari bercelana pendek di event olahraga FKIJK Aceh Run 2025 yang digelar di lapangan Blang Padang Banda Aceh, Ahad pagi (11/5). (Foto: Dok. Infoaceh.net)
Olahraga

Tanpa Peduli Melanggar Syariat, Wagub Fadhlullah Lepas Pelari Bercelana Pendek di FKIJK Aceh Run

Sabtu, 11 Oktober 2025
Anggota Komisi III DPR RI asal Aceh, M Nasir Djamil
Aceh

Komisi III DPR RI Minta Polisi Tangkap Gubsu Bobby Terkait Razia Mobil Plat Aceh

Minggu, 28 September 2025
UMKM binaan BRI sukses ekspansi pasar Internasional
Ekonomi

Negara Diam, UMKM Digasak Shopee-Tokopedia-TikTok

Jumat, 25 Juli 2025
Anggun Rena Aulia
Kesehatan & Gaya Hidup

Serba Cepat, Serba Candu: Dunia Baru Gen Z di Media Sosial

Minggu, 19 Oktober 2025
Fenomena penggunaan jasa joki akademik di kalangan dosen untuk meraih gelar profesor mulai menjadi sorotan di Aceh. (Foto: Ilustrasi)
Pendidikan

Fenomena Joki Profesor di Aceh: Ancaman Serius bagi Marwah Akademik

Jumat, 12 September 2025
FacebookLike
XFollow
PinterestPin
InstagramFollow
YoutubeSubscribe
TiktokFollow
TelegramFollow
WhatsAppFollow
ThreadsFollow
BlueskyFollow
RSS FeedFollow
IKLAN HARI PAHLAWAN PEMKO
IKLAN PEMKO SABANG SUMPAH PEMUDA
IKLAN BANK ACEH HARI SANTRI
IKLAN DJP OKTOBER 2025

Berita Lainnya

Opini

Banjir Sumatera dan Jejak Kayu yang Mengkhianati Hutan

Selasa, 2 Desember 2025
Dr (cand) Yohandes Rabiqy, SE., MM
Opini

250 Ton Beras Masuk Tanpa Izin: Bukti BPKS Terlalu Lama Dibiarkan Tanpa Pengawasan

Senin, 24 November 2025
Peta Wilayah Kerja Migas Aceh (Dok. Dinas ESDM Aceh)
Opini

Tiga Proyek Migas Aceh: Banyak Panggung, Minim Bukti

Kamis, 20 November 2025
Dr (cand) Yohandes Rabiqy, SE., MM
Opini

20 Tahun Menghabiskan APBN: BPKS Layak Dievaluasi atau Dibubarkan

Senin, 17 November 2025
Dr (cand) Yohandes Rabiqy, SE., MM
Opini

Aceh Kaya Energi, Tapi Miskin Otoritas

Sabtu, 15 November 2025
Riza Syahputra
Opini

Fobia Terbesar Pejabat Indonesia: Bukan Neraka, Tapi Kehilangan Jabatan

Rabu, 12 November 2025
dr. Suzanna Octiva SpKJ
Opini

Ketika Penjaga Kesehatan Aceh Bertahan Tanpa Kepastian

Rabu, 12 November 2025
Opini

Prabowo Perlu Belajar dari Sultan Iskandar Muda

Senin, 10 November 2025
TAMPILKAN LAINNYA
INFOACEH.netINFOACEH.net
Follow US
© 2025 PT. INFO ACEH NET. All Right Reserved.
Developed by PT. Harian Aceh Indonesia
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Disclaimer
Logo Info Aceh
Selamat datang di Website INFOACEH.net
Username atau Email Address
Password

Lupa password?