Oleh: Drs M. Isa Alima*
Presiden RI Prabowo Subianto berulang kali menekankan pemimpin harus bekerja dengan jiwa dan raga.
Turun, menyentuh, merasakan langsung derita rakyat di saat bencana. Bukan sekadar menerima laporan atau membaca angka di atas kertas.
Sebab derita tak hidup di meja rapat, melainkan di rumah-rumah basah, dapur tanpa asap, dada sesak ketidakpastian.
Tragedi tsunami tahun 2004 seharusnya menjadi pelajaran berharga. Jangan biarkan pejabat ‘wet-wet gaki’ (ongkang-ongkang kaki) di tengah bencana terulang, nyaman berdiri bersih di balik protokoler sementara relawan dan NGO berjibaku di lapangan.
Mereka tak digaji kekuasaan, tapi dibayar kemanusiaan.
Mengapa bencana banjir bandang dan longsor Aceh akhir November 2025 lalu ini tak kunjung ditetapkan sebagai bencana nasional? Ada pesan sunyi: agar pejabat Aceh merasakan langsung kesulitan rakyat.
Padahal, jabatan adalah amanah melayani rakyat, bukan perisai hindari lumpur dan hujan.
Patut kita bertanya jujur: soe nyang hana tem troen lapangan, tak pernah berdiri di genangan, tak mencium bau lumpur, apa atensi yang akan Diberikan bila Presiden Prabowo tahu? Tak turun ke lapangan melihat rakyat. Bagaimana kebijakan adil lahir dari jarak dingin? Pikiran pejabat di Aceh harus bekerja seimbang dengan raga.
Ia menambahkan, pengalaman adalah guru termahal. Tak bisa diganti foto seremonial, disubstitusi pidato. Tanpa pengalaman lapangan, keputusan lahir pincang, rapi, namun hampa empati.
Wakil Gubernur Aceh Fadhlullah menunjukkan keseriusan dalam bekerja di tengah bencana hingga tercebur ke sungai saat rakit darurat terbalik saat meninjau langsung lokasi banjir bandang di Pameu, Aceh Tengah.
Pelajaran yang seharusnya datang lebih awal: jabatan tak kebal dari tanggung jawab moral.
Dengan titel Wakil Gubernur Aceh, ia orang nomor dua yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Rakyat yang kini memikul beban berat sendirian: harga hidup menjerit, bencana tak kunjung pulih dan rasa ditinggalkan.
Aceh bukan tanah tanpa sejarah. Nanggroe teuleubeh keuneubah indatu, negeri yang diwarisi dengan luka, doa, kehormatan.
Kepemimpinan di sini bukan sekadar administrasi ia adalah sumpah kepada sejarah dan penderitaan. Jika ada pejabat ‘wet-wet gaki’, pura-pura tak tahu kondisi lapangan, pokok jih tanyoë harus teutap: biarkan ia disorot, viral. Bukan menjatuhkan, melainkan mengingatkan.
Sebab kekuasaan tanpa empati hanyalah pakaian mahal di tengah luka rakyat. Negeri ini butuh pemimpin yang berani kotor, berani basah, dan berani memikul beban bersama rakyat, hari ini, esok dan seterusnya.
*Penulis adalah pemerhati sosial dan kebijakan publik Aceh



