Penulis: Sri Radjasa MBA (Pemerhati Intelijen)
Setiap kali Aceh bergejolak, selalu ada suara sumbang yang buru-buru menuding: separatisme. Seolah-olah Aceh adalah wilayah yang tak pernah selesai dengan Indonesia.
Padahal, jika ditarik lebih jujur ke hulu sejarah, konflik Aceh bukanlah soal ingin memisahkan diri, melainkan tentang luka panjang akibat pengingkaran terhadap hak menentukan nasib sendiri.
Luka yang tak pernah benar-benar sembuh, hanya ditutup sementara oleh jeda-jeda kekuasaan.
Aceh tidak lahir dari rahim Indonesia. Aceh telah ada jauh sebelum republik ini diproklamasikan. Ia pernah berdiri sebagai kesultanan berdaulat, disegani di kawasan Selat Malaka, memiliki jaringan diplomasi dan perdagangan internasional, serta menjadi pusat peradaban Islam di Asia Tenggara.
Fakta sejarah ini bukan romantisme masa lalu, melainkan identitas kolektif yang masih hidup dalam ingatan orang Aceh.
Ironinya, ketika republik ini lahir, Aceh justru menjadi salah satu daerah paling setia. Dari Aceh, dana dan dukungan mengalir untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Namun kesetiaan itu berbalas kebijakan yang melukai harga diri. Aceh dilebur ke dalam Sumatera Utara, suaranya dipinggirkan, dan pembangunan menjauh dari tanah rencong. Ketika kekayaan alam Aceh mulai dikeruk, mulai dari minyak dan gas mengalir ke pusat, yang tersisa di kampung-kampung hanyalah debu ketidakadilan.
Dalam kondisi seperti itu, perlawanan bukanlah anomali, melainkan reaksi sosial. Negara yang gagal menghadirkan keadilan akan selalu melahirkan resistensi.
Inilah yang sering luput dibaca oleh Jakarta: Aceh tidak melawan Indonesia, Aceh melawan ketidakadilan.
Dari Hasan Tiro hingga Acehnology
Kemunculan Hasan Tiro pada 1976 bukan ledakan emosi sesaat, melainkan akumulasi kekecewaan panjang. Berbeda dengan gerakan Darul Islam yang berbasis ideologi keagamaan, perjuangan Hasan Tiro dibangun di atas narasi sejarah dan hukum internasional. Ia menghidupkan kembali ingatan tentang Aceh sebagai bangsa yang pernah berdaulat.
Hasan Tiro berbicara tentang successor state, bahwa Aceh bukan negara baru, melainkan negara yang terputus oleh kolonialisme. Belanda, dalam pandangan ini, tidak pernah sah menaklukkan Aceh, apalagi menyerahkan kedaulatannya kepada Indonesia melalui Perjanjian 27 Desember 1949.
Bagi Hasan Tiro, tindakan itu bertentangan dengan prinsip dekolonisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat wilayah jajahan, bukan penjajah.
Apakah semua orang Aceh sepakat dengan gagasan ini? Tentu tidak. Namun gagasan tersebut menjelaskan satu hal penting, bahwa konflik Aceh bukan sekadar urusan senjata, melainkan perdebatan tentang sejarah, martabat, dan hak politik.
Inilah sebabnya konflik Aceh begitu sulit diselesaikan dengan pendekatan keamanan semata.
MoU Helsinki 2005 adalah titik balik. Senjata diturunkan, darah berhenti mengalir, dan Aceh diberi ruang mengatur diri sendiri melalui self-government.
Partai politik lokal lahir, lembaga Wali Nanggroe dibentuk, dan Aceh mendapatkan otonomi yang lebih luas. Namun perdamaian bukan benda mati. Ia hidup dari keadilan dan empati.
Ketika pemerintah pusat kembali abai terhadap sensitivitas Aceh, seperti dalam keputusan menolak status bencana nasional atas musibah banjir dan longsor, yang muncul bukan sekadar kekecewaan administratif, melainkan rasa ditinggalkan.
Dari rasa inilah simbol-simbol lama konflik kembali muncul. Bukan karena Aceh ingin perang, tetapi karena Aceh merasa tidak didengar.
Di sinilah pentingnya memahami Aceh bukan hanya lewat angka APBN dan proyek infrastruktur. Seperti dikemukakan Prof Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Aceh adalah ruang kesadaran.
Gagasan Acehnology mengajak kita melihat Aceh dari dalam, yakni mendengar nilai-nilai, sejarah, dan kebijaksanaan lokal yang selama ini tenggelam oleh pendekatan seragam negara.
Aceh tidak butuh belas kasihan, apalagi kecurigaan berlebihan. Aceh butuh keadilan dan pengakuan. Selama Aceh terus diperlakukan sebagai daerah bermasalah, luka itu akan tetap bernanah.
Tetapi jika Aceh diperlakukan sebagai mitra sejajar dalam kebangsaan, Aceh justru akan menjadi benteng terkuat Indonesia di ujung barat Nusantara.
Aceh bukan ancaman. Aceh adalah cermin. Dan sering kali, yang paling sulit diterima adalah bayangan kita sendiri.



