INDONESIA baru saja kehilangan sesuatu yang lebih besar dari sekadar tiket Piala Dunia: kepercayaan publik terhadap janji perubahan.
Di balik reruntuhan harapan itu, berdirilah nama-nama yang sejak awal begitu percaya diri menebar mimpi: Erick Thohir, Arya Sinulingga, dan para Exco PSSI.
Di bawah bendera reformasi sepak bola, mereka menjual optimisme, bukan strategi. Patrick Kluivert diboyong dengan gembar-gembor sebagai ikon kebangkitan, dan Arya Sinulingga menyebutnya “tim kepelatihan terbaik yang pernah dimiliki Indonesia.”
Kini, delapan pertandingan kemudian, “yang terbaik” itu justru menyisakan statistik getir dan ruang ganti yang dingin.
Publik tak marah karena kalah. Publik marah karena dibohongi harapan.
Sejak awal, asisten pelatih Alex Pastoor sudah berkata jujur bahwa target lolos ke Piala Dunia 2026 adalah tidak realistis. Tetapi, PSSI tetap memilih hidup di alam ilusi, menunggangi euforia suporter yang lapar prestasi.
Mereka tahu mimpi itu mustahil, tetapi mereka tetap menjualnya — lengkap dengan jargon kebangsaan dan baliho kemenangan yang belum pernah ada.
Itu bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan bentuk penipuan moral terhadap 200 juta rakyat yang mencintai sepak bola.
Ketika semua berantakan, jalan keluar yang mereka pilih adalah klasik: memecat pelatih, menghapus jejak salah urus, dan kembali bersembunyi di balik pernyataan “kita evaluasi.”
Tidak satu pun yang berani mengatakan dua kata paling sederhana dalam kamus integritas: “Saya mundur.”
Federasi sepak bola adalah lembaga kepercayaan publik, bukan panggung Politik atau etalase gengsi internasional.
Maka, ketika kegagalan datang akibat kebijakan yang mereka buat sendiri, Erick Thohir dan gerombolannya di PSSI seharusnya tahu diri.
Mundur bukan aib, tapi penghormatan terakhir pada akal sehat bangsa yang sudah terlalu sering disuguhi janji tanpa hasil.
Sepak bola Indonesia butuh pemimpin yang mau bertanggung jawab, bukan yang pandai berpose di depan kamera sambil menyebut “kita sedang berproses.”
Rakyat sudah cukup sabar menunggu proses itu sejak tahun 1930.
Kini saatnya berhenti menjual mimpi. Beri jalan bagi generasi yang berani — bukan sekadar berbicara.
Agung Nugroho
(Pemerhati Sepak Bola)



