Sabang, Infoaceh.net — Di tengah kelangkaan Gas Elpiji (Liquefied Petroleum Gas/LPG) yang kian mencekik masyarakat Kota Sabang, lemahnya pengawasan distribusi elpiji 3 kilogram semakin menyingkap persoalan serius dalam tata kelola subsidi energi.
Tabung gas bersubsidi yang sejatinya diperuntukkan bagi masyarakat miskin dan kurang mampu justru diduga kuat disalahgunakan secara terbuka oleh pihak-pihak yang tidak berhak.
Fakta di lapangan menunjukkan, kelangkaan elpiji 3 kilogram bukan semata persoalan pasokan, melainkan erat kaitannya dengan buruknya pengawasan di tingkat agen dan pangkalan.
Dugaan pembiaran terhadap praktik penyalahgunaan gas bersubsidi tersebut kian menguat, sementara masyarakat kecil harus berjibaku dengan antrean panjang demi memenuhi kebutuhan dapur sehari-hari.
Ironisnya, penyalahgunaan elpiji 3 kilogram di Kota Sabang terkesan berlangsung tanpa hambatan berarti. Tabung bersubsidi dengan mudah beredar di luar sasaran, digunakan oleh pelaku usaha maupun kalangan mampu, tanpa adanya tindakan tegas atau pelaporan kepada aparat penegak hukum.
Situasi ini memunculkan pertanyaan besar: di mana peran pengawasan agen resmi yang ditunjuk negara?
Praktik yang jelas-jelas melanggar aturan ini seolah telah menjadi hal lumrah. Tidak tampak efek jera. Tidak ada sanksi nyata.
Yang mengemuka justru sikap saling melempar tanggung jawab di antara pihak-pihak yang seharusnya berada di garda terdepan dalam memastikan subsidi negara tepat sasaran.
Pimpinan Agen Resmi Gas Elpiji Pertamina, PT Gas Aneuk Meugah Sabang, Munazar Ismail alias Cicik, saat dikonfirmasi wartawan, dinilai terkesan enggan memikul tanggung jawab penuh atas pengawasan distribusi elpiji 3 kilogram di wilayah tersebut.
Meski mengakui kerap berada di Kota Sabang, Munazar Ismail dianggap abai terhadap maraknya penyalahgunaan elpiji bersubsidi yang sejatinya menyasar dapur rakyat miskin.
“Pengawasan dari agen tetap ada. Namun bukan berarti agen harus berada setiap saat di setiap pangkalan untuk melakukan waskat (pengawasan melekat) terhadap penyalahgunaan,” ujar Munazar Ismail melalui pesan WhatsApp kepada wartawan, Sabtu (13/12).
Lebih lanjut, ia menyatakan peran agen sebatas memberikan imbauan dan teguran, bukan melakukan pelarangan secara langsung.
“Kalau ada ditemukan penyalahgunaan seperti itu, bisa dimuatkan ke media agar masyarakat tahu dan pihak berwajib bisa bertindak,” katanya.
Pernyataan tersebut justru memantik kegelisahan publik. Sebab, pengawasan distribusi elpiji bersubsidi bukanlah beban media atau masyarakat semata, melainkan kewajiban mutlak agen resmi sebagai perpanjangan tangan negara dalam menyalurkan subsidi energi.
Sikap pasif dengan dalih keterbatasan peran dinilai mencerminkan lemahnya komitmen dalam menjaga amanah subsidi.
Padahal, negara telah memberikan kewenangan kepada agen dan pangkalan untuk memastikan elpiji 3 kilogram hanya diterima oleh masyarakat yang benar-benar berhak.
Ketika pengawasan melemah dan pembiaran dibiarkan berlarut-larut, maka yang menjadi korban adalah rakyat kecil. Subsidi yang seharusnya melindungi masyarakat miskin justru berpotensi dinikmati oleh pihak-pihak yang tidak berhak, sementara warga berpenghasilan rendah harus menanggung kelangkaan, antrean panjang dan harga yang kian mencekik.
Kondisi ini menuntut evaluasi serius dari Pertamina, pemerintah daerah, serta aparat penegak hukum. Tanpa langkah tegas dan pengawasan yang ketat, distribusi elpiji 3 kilogram di Kota Sabang dikhawatirkan terus menyimpang dari tujuan awalnya: membantu rakyat kecil, bukan memperkaya segelintir pihak.



