Oleh: Mayjen TNI (Purn) T A Hafil Fuddin SH SIP MH*
Pada Ahad, 21 Desember 2025, saya mendampingi Wali Nanggroe mengunjungi Kabupaten Aceh Tamiang sekaligus menyalurkan 15 ton bantuan kemanusiaan bagi masyarakat terdampak banjir. Bantuan tersebut diterima di posko utama dan disaksikan Wakil Gubernur Aceh, Bupati Aceh Tamiang, Ketua DPRK Aceh Tamiang, Staf Khusus Wali Nanggroe, Khatibul Wali, serta tokoh masyarakat setempat.
Kunjungan ini tidak dimaksudkan sebagai kegiatan seremonial, melainkan sebagai ikhtiar kemanusiaan dan peninjauan langsung kondisi faktual di lapangan, guna memastikan arah kebijakan pemulihan pascabencana berjalan tepat sasaran.
Hasil peninjauan di Kuala Simpang menunjukkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Kota mengalami kelumpuhan hampir total.
Aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat terhenti, sementara kapasitas pemerintah daerah dan warga masih terserap pada distribusi bantuan, khususnya kebutuhan pangan.
Bantuan memang sangat dibutuhkan pada fase awal, namun fakta lapangan memperlihatkan bahwa Aceh Tamiang tidak cukup hanya diberi bantuan. Tantangan yang dihadapi jauh melampaui aspek logistik darurat.
Hingga saat peninjauan dilakukan, infrastruktur dasar belum tertangani secara memadai. Jalan, fasilitas umum, dan kawasan permukiman masih tertutup lumpur. Warga membersihkan rumah mereka dengan peralatan seadanya, mencerminkan keterbatasan dukungan teknis dan mekanis.
Kondisi ini menunjukkan bahwa penanganan masih berada pada fase tanggap darurat, sementara transisi menuju fase rekonstruksi belum berjalan optimal.
Tanpa percepatan transisi ini, pemulihan akan berjalan lambat dan berisiko menimbulkan kerentanan baru.
Saya memandang penting untuk menyampaikan secara objektif bahwa banjir di Aceh Tamiang bukanlah peristiwa kebetulan. Banjir yang berulang merupakan indikator persoalan struktural, terutama terkait tata ruang wilayah, pengelolaan daerah aliran sungai, serta degradasi fungsi lingkungan.
Apabila persoalan mendasar ini tidak diselesaikan, maka bantuan yang diberikan hari ini berpotensi menjadi rutinitas tahunan tanpa penyelesaian permanen.
Karena itu, rekonstruksi Aceh Tamiang harus dirancang secara menyeluruh dan berbasis kajian ilmiah yang komprehensif.
Diperlukan keberanian kebijakan untuk melakukan penataan ulang tata ruang dari hulu hingga hilir, mencakup: penataan daerah aliran sungai, perlindungan kawasan resapan air, pengendalian pemanfaatan ruang serta relokasi permukiman di zona rawan banjir.
Relokasi harus diposisikan sebagai langkah penyelamatan jangka panjang, bukan sekadar kebijakan teknis yang bersifat sementara.
Tahapan pembangunan pascabencana tidak boleh lagi dilakukan secara parsial dan reaktif. Jika keterbatasan anggaran menjadi kendala, maka pelaksanaan rekonstruksi harus dilakukan secara bertahap, namun tetap berpedoman pada rencana tata ruang yang jelas, konsisten, dan berkelanjutan.
Perencanaan yang tidak utuh justru berpotensi melahirkan bencana baru di masa mendatang.
Demikian pula perhatian serius juga perlu diarahkan kepada masyarakat yang masih berada di pengungsian. Mereka membutuhkan kepastian kebijakan, bukan sekadar empati sesaat.
Negara harus hadir melalui: penyediaan tempat penampungan sementara yang layak dan peta jalan pemindahan ke hunian tetap secara bertahap sesuai tahapan rekonstruksi.
Keadilan sosial harus menjadi ruh utama dalam seluruh proses pemulihan.
Aceh Tamiang hari ini adalah cermin bagi kita semua. Kehadiran negara tidak boleh berhenti pada distribusi bantuan logistik, tetapi harus diwujudkan melalui keputusan strategis, keberanian menata ulang wilayah, dan komitmen rekonstruksi jangka panjang.
Sejalan dengan pernyataan Presiden RI dalam rapat kabinet yang beredar di ruang publik mengenai rencana pembentukan badan atau satuan tugas rekonstruksi pascabencana, maka langkah tersebut perlu segera ditindaklanjuti secara konkret, khususnya untuk wilayah rawan seperti Aceh Tamiang.
Saya meyakini setiap musibah adalah ujian sekaligus peringatan. Dari lumpur Kuala Simpang, harapan rakyat Aceh Tamiang, bangun kembali dengan perencanaan yang benar, agar bencana tidak terus menjadi takdir yang berulang.
Semoga Allah memberi petunjuk kepada para pemimpin dan kekuatan kepada rakyat Aceh Tamiang untuk bangkit dengan bermartabat.
*Penulis adalah mantan Pangdam Iskandar Muda dan Tokoh Masyarakat Aceh



