INFOACEH.netINFOACEH.netINFOACEH.net
  • Beranda
  • Aceh
  • Nasional
  • Dunia
  • Umum
  • Ulama Aceh
  • Syariah
  • Politik
  • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Opini
  • Olahraga
  • Hukum
  • Gaya Hidup
Cari Berita
© 2025 PT. INFO ACEH NET. All Rights Reserved.
Font ResizerAa
Font ResizerAa
INFOACEH.netINFOACEH.net
Cari Berita
  • Beranda
  • Aceh
  • Nasional
  • Luar Negeri
  • Umum
  • Biografi Ulama Aceh
  • Syariah
  • Politik
  • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Opini
  • Olahraga
  • Hukum
  • Kesehatan & Gaya Hidup
Follow US
© 2025 PT. INFO ACEH NET. All Rights Reserved.
Opini

Aceh dan Luka yang Tak Pernah Benar-benar Sembuh dalam Republik Indonesia

Last updated: Senin, 29 Desember 2025 17:31 WIB
By Redaksi - Wartawati Infoaceh.net
Share
Lama Bacaan 4 Menit
Luka Aceh yang tak pernah benar-benar sembuh, hanya ditutup sementara oleh jeda-jeda kekuasaan. (Foto: Ist)
SHARE
Penulis: Sri Radjasa MBA (Pemerhati Intelijen)
Setiap kali Aceh bergejolak, selalu ada suara sumbang yang buru-buru menuding: separatisme. Seolah-olah Aceh adalah wilayah yang tak pernah selesai dengan Indonesia.
Padahal, jika ditarik lebih jujur ke hulu sejarah, konflik Aceh bukanlah soal ingin memisahkan diri, melainkan tentang luka panjang akibat pengingkaran terhadap hak menentukan nasib sendiri.
Luka yang tak pernah benar-benar sembuh, hanya ditutup sementara oleh jeda-jeda kekuasaan.
Aceh tidak lahir dari rahim Indonesia. Aceh telah ada jauh sebelum republik ini diproklamasikan. Ia pernah berdiri sebagai kesultanan berdaulat, disegani di kawasan Selat Malaka, memiliki jaringan diplomasi dan perdagangan internasional, serta menjadi pusat peradaban Islam di Asia Tenggara.
Fakta sejarah ini bukan romantisme masa lalu, melainkan identitas kolektif yang masih hidup dalam ingatan orang Aceh.
Ironinya, ketika republik ini lahir, Aceh justru menjadi salah satu daerah paling setia. Dari Aceh, dana dan dukungan mengalir untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Namun kesetiaan itu berbalas kebijakan yang melukai harga diri. Aceh dilebur ke dalam Sumatera Utara, suaranya dipinggirkan, dan pembangunan menjauh dari tanah rencong. Ketika kekayaan alam Aceh mulai dikeruk, mulai dari minyak dan gas mengalir ke pusat, yang tersisa di kampung-kampung hanyalah debu ketidakadilan.
Dalam kondisi seperti itu, perlawanan bukanlah anomali, melainkan reaksi sosial. Negara yang gagal menghadirkan keadilan akan selalu melahirkan resistensi.
Inilah yang sering luput dibaca oleh Jakarta: Aceh tidak melawan Indonesia, Aceh melawan ketidakadilan.
Dari Hasan Tiro hingga Acehnology
Kemunculan Hasan Tiro pada 1976 bukan ledakan emosi sesaat, melainkan akumulasi kekecewaan panjang. Berbeda dengan gerakan Darul Islam yang berbasis ideologi keagamaan, perjuangan Hasan Tiro dibangun di atas narasi sejarah dan hukum internasional. Ia menghidupkan kembali ingatan tentang Aceh sebagai bangsa yang pernah berdaulat.
Hasan Tiro berbicara tentang successor state, bahwa Aceh bukan negara baru, melainkan negara yang terputus oleh kolonialisme. Belanda, dalam pandangan ini, tidak pernah sah menaklukkan Aceh, apalagi menyerahkan kedaulatannya kepada Indonesia melalui Perjanjian 27 Desember 1949. 
Bagi Hasan Tiro, tindakan itu bertentangan dengan prinsip dekolonisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat wilayah jajahan, bukan penjajah.
Apakah semua orang Aceh sepakat dengan gagasan ini? Tentu tidak. Namun gagasan tersebut menjelaskan satu hal penting, bahwa konflik Aceh bukan sekadar urusan senjata, melainkan perdebatan tentang sejarah, martabat, dan hak politik.
Inilah sebabnya konflik Aceh begitu sulit diselesaikan dengan pendekatan keamanan semata.
MoU Helsinki 2005 adalah titik balik. Senjata diturunkan, darah berhenti mengalir, dan Aceh diberi ruang mengatur diri sendiri melalui self-government.
Partai politik lokal lahir, lembaga Wali Nanggroe dibentuk, dan Aceh mendapatkan otonomi yang lebih luas. Namun perdamaian bukan benda mati. Ia hidup dari keadilan dan empati.
Ketika pemerintah pusat kembali abai terhadap sensitivitas Aceh, seperti dalam keputusan menolak status bencana nasional atas musibah banjir dan longsor, yang muncul bukan sekadar kekecewaan administratif, melainkan rasa ditinggalkan.
Dari rasa inilah simbol-simbol lama konflik kembali muncul. Bukan karena Aceh ingin perang, tetapi karena Aceh merasa tidak didengar.
Di sinilah pentingnya memahami Aceh bukan hanya lewat angka APBN dan proyek infrastruktur. Seperti dikemukakan Prof Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Aceh adalah ruang kesadaran.
Gagasan Acehnology mengajak kita melihat Aceh dari dalam, yakni mendengar nilai-nilai, sejarah, dan kebijaksanaan lokal yang selama ini tenggelam oleh pendekatan seragam negara.
Aceh tidak butuh belas kasihan, apalagi kecurigaan berlebihan. Aceh butuh keadilan dan pengakuan. Selama Aceh terus diperlakukan sebagai daerah bermasalah, luka itu akan tetap bernanah.
Tetapi jika Aceh diperlakukan sebagai mitra sejajar dalam kebangsaan, Aceh justru akan menjadi benteng terkuat Indonesia di ujung barat Nusantara.
Aceh bukan ancaman. Aceh adalah cermin. Dan sering kali, yang paling sulit diterima adalah bayangan kita sendiri.
Previous Article Pertamina Pulihkan 12 Sumur dan Pasok Air Bersih untuk Korban Banjir Aceh Tamiang 
Next Article Pemerintah Aceh Pastikan Sekolah Terdampak Banjir Aktif Kembali 5 Januari 2026
Tidak ada komentar

Beri KomentarBatalkan balasan

Populer

Aceh
Warga Tangse Kepung Gunung Neubok Badeuk, Buru Mafia Tambang dan Perambah Hutan
Minggu, 28 Desember 2025
Surat Warga
Aceh Lumpuh Terkubur Lumpur: Negara Wajib Turun Penuh, Bukan Hanya Retorika dan Kunjungan Semata
Senin, 29 Desember 2025
Siapa Andini Permata Videonya Berdurasi 2 Menit 31 Detik Bareng Adiknya Viral di Medsos
Umum
Siapa Andini Permata? Sosok Fiktif di Balik Video 2 Menit 31 Detik yang Jadi Umpan Penipuan Digital
Jumat, 11 Juli 2025
Opini
Aceh dan Luka yang Tak Pernah Benar-benar Sembuh dalam Republik Indonesia
Senin, 29 Desember 2025
Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem bersama kedua istrinya, Marlina Usman atau Kak Ana (Ketua TP PKK Aceh) dan Salmawati SE atau Bunda Salma (Anggota Komisi III DPRA). (Foto: Ist)
Aceh
Dua First Lady Aceh: Antara Kak Ana dan Bunda Salma, Siapa Paling Berpengaruh?
Kamis, 3 Juli 2025

Paling Dikomentari

Wakil Gubernur Aceh Fadhlullah atau Dek Fad saat melepas pelari bercelana pendek di event olahraga FKIJK Aceh Run 2025 yang digelar di lapangan Blang Padang Banda Aceh, Ahad pagi (11/5). (Foto: Dok. Infoaceh.net)
Olahraga

Tanpa Peduli Melanggar Syariat, Wagub Fadhlullah Lepas Pelari Bercelana Pendek di FKIJK Aceh Run

Sabtu, 11 Oktober 2025
Anggota Komisi III DPR RI asal Aceh, M Nasir Djamil
Aceh

Komisi III DPR RI Minta Polisi Tangkap Gubsu Bobby Terkait Razia Mobil Plat Aceh

Minggu, 28 September 2025
UMKM binaan BRI sukses ekspansi pasar Internasional
Ekonomi

Negara Diam, UMKM Digasak Shopee-Tokopedia-TikTok

Jumat, 25 Juli 2025
Anggun Rena Aulia
Kesehatan & Gaya Hidup

Serba Cepat, Serba Candu: Dunia Baru Gen Z di Media Sosial

Minggu, 19 Oktober 2025
Fenomena penggunaan jasa joki akademik di kalangan dosen untuk meraih gelar profesor mulai menjadi sorotan di Aceh. (Foto: Ilustrasi)
Pendidikan

Fenomena Joki Profesor di Aceh: Ancaman Serius bagi Marwah Akademik

Jumat, 12 September 2025
FacebookLike
XFollow
PinterestPin
InstagramFollow
YoutubeSubscribe
TiktokFollow
TelegramFollow
WhatsAppFollow
ThreadsFollow
BlueskyFollow
RSS FeedFollow

Berita Lainnya

Opini

Bencana Aceh-Sumatera, Negara Hadir dalam Rapat dan Pidato 

Jumat, 19 Desember 2025
Opini

Indonesia dalam Cengkeraman Kepribadian Otoritarian

Kamis, 18 Desember 2025
Opini

Negara Belum Sepenuhnya Hadir di Tengah Bencana Banjir Aceh

Rabu, 17 Desember 2025
Mahmud Padang (Pemerhati Sosial Politik Aceh, Ketua DPW Alamp Aksi Aceh)
Opini

Drama Nasional di Panggung Bencana Aceh

Jumat, 12 Desember 2025
Lebih 100 organisasi masyarakat sipil melayangkan somasi dan mendesak Presiden Prabowo Subianto segera menetapkan status bencana nasional atas banjir-longsor besar yang melanda Aceh-Sumatera. (Foto: Ist)
Opini

Narasi Pemerintah Runtuh: Bencana Sumatera Ungkap Negara Tak Mampu ‘Menangani Sendiri’

Jumat, 12 Desember 2025
Opini

Banjir Sumatera dan Jejak Kayu yang Mengkhianati Hutan

Selasa, 2 Desember 2025
Dr (cand) Yohandes Rabiqy, SE., MM
Opini

250 Ton Beras Masuk Tanpa Izin: Bukti BPKS Terlalu Lama Dibiarkan Tanpa Pengawasan

Senin, 24 November 2025
Peta Wilayah Kerja Migas Aceh (Dok. Dinas ESDM Aceh)
Opini

Tiga Proyek Migas Aceh: Banyak Panggung, Minim Bukti

Kamis, 20 November 2025
TAMPILKAN LAINNYA
INFOACEH.netINFOACEH.net
Follow US
© 2025 PT. INFO ACEH NET. All Right Reserved.
Developed by PT. Harian Aceh Indonesia
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Disclaimer
Logo Info Aceh
Selamat datang di Website INFOACEH.net
Username atau Email Address
Password

Lupa password?