BANDA ACEH – PT Pembangunan Aceh (PEMA) dan Pemerintah Aceh didesak untuk segera menghentikan kerja sama pengelolaan Migas Blok B yang berada di Kabupaten Aceh Utara, dengan Bakrie Group.
Bukan tanpa alasan, bahwa Bakrie Group punya catatan kelam dalam sejarah pengelolaan Migas di Indonesia.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) Wilayah Aceh, Husnul Jamil dalam keterangannya, Rabu (1/9).
Menurutnya, pada 29 Mei 2006 terjadi luapan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur akibat pengeboran minyak oleh PT Lapindo (Bakrie Group). Sebanyak 16 desa di 3 kecamatan tenggelam, 25.000 jiwa penduduk mengungsi, 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah juga ikut tenggelam, 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja, serta terjadi kerusakan alam yang sangat dahsyat.
Selanjutnya, utang Bakrie ke kas negara Rp 1,91 triliun yang merupakan dana talangan penanggulangan luapan lumpur Lapindo, yang telah jatuh tempo pada 10 Juli 2019 lalu. Menurut BPK, Lapindo hanya pernah membayar satu kali sebesar 5 miliar pada 20 Desember 2018.
Menurut Husnul, Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Gubernur Nova Iriansyah dan Dirut PT PEMA Zubir Sahim jangan buta melihat fenomena sosial yang terjadi saat ini.
Kalau pengelolaan Blok B tersebut rakyat merasa dirugikan, maka rakyat Aceh segera menolak dan melakukan perlawanan.
“Karena utang Bakrie ke negara sampai saat ini belum ada kejelasan. Negara saja mau dikadalin, apalagi sekelas PT PEMA dan Pemerintah Aceh, emang Pak Nova sama Pak Zubir mau tanggungjawab kalau macet persoalan keuangan dan terjadi luapan lumpur di Aceh,” ujarnya.
Husnul mengharapkan jika bisa BUMD Aceh dalam hal ini PT PEMA, harus diberdayakan perusahaan-perusahaan lokal terlebih dahulu.
“Kita selalu menjadi tamu di rumah kita sendiri. Padahal kita selalu mengatakan bahwa Aceh kaya, tapi kekayaan Aceh tidak pernah dinikmati oleh rakyat Aceh itu sendiri,” sebutnya.
Dalam pengelolaan Migaa Blok B tersebut, Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA) sebagai regulator juga harus benar-benar mengawasi kontrak kerja tersebut, poin pentingnya adalah harus mengacu kepada PP Nomor 23 Tahun 2015 tentang pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas di bumi Aceh dan UUPA.
Adapun Gubernur Aceh Nova Iriansyah yang menerima naskah asli kontrak kerja sama Blok B pada Rabu, 25 Agustus 2021 yang diserahkan oleh Kementerian ESDM dalam hal ini diwakili Sekjen Dr Ir Ego Syahrial MSc, perlu dilihat lagi naskah tersebut.
“Perlu kita lihat dan cek secara langsung bagaimana isi naskah tersebut, lalu saham siapa saja yang berada di Blok B tersebut. Karena selama ini kami melihat Direktur PT PEMA tidak transparan dalam mengelola sumber daya alam (SDA) yang ada di Aceh,” tutup Husnul Jamil yang juga merupakan mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia. (IA)