Kejati Aceh Gelar Seminar Nasional Penanganan Tindak Pidana yang Merugikan Negara
BANDA ACEH – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh menggelar seminar nasional dalam rangkaian memperingati Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) ke-63.
Seminar bertema “Optimalisasi Kewenangan Kejaksaan dalam Penanganan Tindak Pidana yang Merugikan Perekonomian Negara” itu berlangsung secara hybrid di Aula Serbaguna Kejati Aceh, pada Jum’at pagi (14/7).
Dua narasumber hadir secara langsung yakni Ibnu Firman Ide Amin (Koordinator pada Kejati Aceh), Rimawan Pradiptyo SE MSc Ph.D (Dosen UGM Yogyakarta) dan Prof Dr Agus Surono SH MH (Ahli Pidana dari Universitas Pancasila) yang hadir secara online.
Sedangkan Wakajati Aceh Rudi Irmawan SH MH menjadi keynote speaker sekaligus membuka acara seminar
Acara dihadiri ratusan peserta dari unsur kejaksaan, pemerintahan, akademisi, mahasiswa, penggiat hukum dan unsur media bak hadir secara langsung maupun online.
Narasumber yang dihadirkan dalam seminar nasional tersebut menyampaikan tentang tindak pidana yang merugikan perekonomian neggara, kejahatan ekonomi serta memaparkan contoh kasus korupsi merugikan perekonomian negara yang telah ditangani kejaksaan selama ini.
Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, Rudy Irmawan mengatakan, seminar tersebut sebagai wadah diskusi kepada peserta dan masyarakat secara umum terkait kewenangan kejaksaan dalam penanganan tindak pidana yang merugikan perekonomian negara, dan kewenangan denda damai sebagai dua isu hukum yang sedang hangat diperbincangkan.
“Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib, diperlukan adanya upaya secara sungguh-sunguh melakukan pencegahan serta pemberantasan tindak pidana yang dapat merugikan perekonomian negara,” kata Rudy saat membuka acara.
Dalam proses pembangunan nasional, tambah Rudy, berbagai aspek kehidupan muncul aspirasi dari masyarakat penanganan secara serius terhadap tindak pidana yang dapat merugikan perekonomian negara yang dampaknya dapat menimbulkan krisis pada sendi kehidupan masyarakat.
Menurutnya, aspirasi masyarakat tersebut diperlukan persamaan persepsi dengan paradigma penegak hukum yang berfokus pada kerugian dan biaya eksplisit yang harus ditanggung negara akibat suatu perbuatan kejahatan.